Cilegon, sebuah kota industri di provinsi Banten, punya cerita unik yang bikin orang garuk-garuk kepala: kota ini gak punya gereja! Yap, beneran gak ada satu pun. Seperti mencari rendang di restoran vegan, jelas mustahil.
Sejarah Cilegon: Dari Geger sampai Lempeng
Sejarah Cilegon dimulai dari Geger Cilegon tahun 1888, di mana ratusan ulama dan umat Muslim melawan kebengisan penjajah Belanda.
Pemberontakan ini dipimpin oleh para ulama lokal dengan semangat jihad yang membara, melawan penindasan kolonial.
Salah satu pemimpin utama dalam peristiwa ini adalah Ki Wasid, seorang ulama yang sangat dihormati dan memiliki pengaruh besar di masyarakat Cilegon.
Setelah perlawanan itu, banyak ulama yang digantung dan dibunuh, meninggalkan trauma mendalam pada masyarakat Cilegon. Jadilah kota ini punya sikap curiga terhadap segala pengaruh luar, termasuk agama lain.
Sejak itu, warga Cilegon hidup dengan teguh memegang tradisi Islam yang diwariskan oleh nenek moyang. Gereja dianggap sebagai simbol pengaruh luar yang gak diinginkan.
Gak heran kalau permintaan mendirikan gereja selalu ditolak mentah-mentah, ibarat lamaran yang ditolak karena calon mertua lebih suka mantan pacar anaknya.
Penolakan Pembangunan Gereja: Deretan Alasan yang Kompleks
Penolakan pembangunan gereja di Cilegon punya beberapa alasan utama yang bikin pusing kepala:
1. Sejarah Peristiwa Geger Cilegon 1888
Trauma dari peristiwa ini membuat warga Cilegon curiga sama segala pengaruh luar. Seperti bekas pacar yang trauma ditinggal pas sayang-sayangnya.
2. Kesepakatan pada Pembangunan Krakatau Steel
Pada tahun 1974-1978, ulama dari pesantren Al-Khairiyah, tokoh masyarakat dan pihak berwenang sepakat untuk gak mendirikan tempat ibadah selain masjid saat direlokasi untuk pembangunan pabrik baja Krakatau Steel (dulu dikenal sebagai Proyek Trikora). Kesepakatan ini jadi dasar hukum yang mengatur pembangunan tempat ibadah di Cilegon.
3. Keputusan Bupati Serang Tahun 1975
Keputusan ini memperkuat larangan pembangunan gereja di Cilegon. Keputusan ini didasari oleh kesepakatan yang telah ada sebelumnya dan jadi dasar hukum yang diikuti hingga saat ini.
4. Keterkaitan dengan FKUB
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Cilegon juga turut berperan dalam penolakan pembangunan gereja dengan mengutamakan keharmonisan dan menjaga stabilitas sosial.
Coba bayangin aja, persis kayak anggota grup WhatsApp keluarga yang selalu menjaga suasana biar gak tegang, itulah.
5. Sentimen Masyarakat
Ada juga sentimen masyarakat terhadap umat Kristen yang dianggap sebagai pengaruh luar yang gak diinginkan. Hal ini memperkuat penolakan terhadap pembangunan gereja di kota tersebut.
Kondisi Saat Ini: Nasi Padang Jauh di Mata
Hampir 98 persen penduduk Cilegon adalah Muslim, dan penolakan terhadap pendirian rumah ibadah selain masjid berakar dari sejarah panjang tersebut. Umat Kristen di Cilegon harus melakukan perjalanan jauh ke kota tetangga seperti Serang untuk beribadah.
Ibarat mau makan nasi padang tapi harus terbang ke Padang dulu, karena di kampung cuma ada warteg. Merepotkan? Jelas. Tapi begitulah kenyataannya.
Dampak Sosial dan Ekonomi: Dompet Menjerit, Jiwa Merana
Umat Kristen di Cilegon menghadapi tantangan berat, termasuk biaya dan waktu yang diperlukan untuk beribadah di kota lain.
Beberapa jemaat harus merogoh kocek gak sedikit untuk pergi-pulang, yang sering kali lebih mahal dari uang kolekte yang mereka berikan. Jadilah, ibadah yang seharusnya menenangkan jiwa, hati dan pikiran malah bikin dompet menjerit.
Belum lagi, waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk bersantai atau bersama keluarga malah habis di jalan. Ini ibarat nonton film tapi harus streaming di wifi tetangga, ribet!
Wawancara: Kisah Perjuangan Abina
Abina Simarmata (bukan nama sebenarnya), seorang jemaat HKBP Maranatha Cilegon, harus pergi ke Kota Serang setiap Minggu untuk beribadah.
"Saya gak mau ngerepotin mereka (keluarga)," katanya, mengacu pada anak-anak dan cucunya yang tinggal di Cilegon.
Abina adalah satu dari sekian banyak jemaat yang merasa kesulitan untuk beribadah di kota asalnya. Setiap Minggu pagi, ia harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri, menunggu angkutan umum, dan menempuh perjalanan yang melelahkan.
"Kadang saya juga suka mikir, apa gak ada cara lain biar kami bisa beribadah lebih dekat?" tuturnya dengan nada penuh harap.
Analisis Penulis: Tantangan Pluralisme
Penolakan terhadap pembangunan gereja di Cilegon mencerminkan kompleksitas demografis dan sejarah yang kelam.
Fenomena ini menggambarkan tantangan dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan toleran bagi semua umat beragama.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama yang tinggi, situasi di Cilegon menyoroti perlunya dialog dan pemahaman antarumat beragama.
Kebijakan pemerintah daerah tampak seperti tameng dari semua bentuk inovasi yang mencoba mendobrak tradisi lama.
Toleransi agama jadi seperti angan-angan yang tertulis manis di atas kertas, tapi belum terwujud dalam realitas sehari-hari.
Kritik Terhadap Pluralisme dan Kebijakan Pemerintah: Setengah Hati
Dalam konteks pluralisme, penolakan terhadap pembangunan gereja di Cilegon dapat dilihat sebagai manifestasi dari kegagalan kebijakan pluralisme.
Pemerintah sering kali berada dalam posisi sulit, antara menjaga perdamaian dan stabilitas sosial di satu sisi, dan memenuhi hak-hak minoritas di sisi lain.
Menutup mata terhadap kebutuhan dan hak kelompok minoritas bukanlah solusi jangka panjang. Ini hanya menambah ketegangan dan rasa ketidakadilan.
Sulit untuk mengklaim diri sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika kalau implementasinya masih setengah hati.
Kalau hanya bicara soal toleransi tapi implementasi nol besar, ya jelas gak jalan.
Solusi dan Harapan: Membangun Toleransi Sejak Dini
Meskipun tantangan berat, ada harapan bahwa situasi ini dapat membaik dengan adanya dialog dan kerjasama antara berbagai elemen masyarakat.
Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon bisa memainkan peran kunci dalam memfasilitasi pertemuan dan diskusi antara tokoh agama dan masyarakat umum.
Pendidikan tentang toleransi dan keberagaman sejak dini juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan ini.
Selain itu, tokoh agama dari berbagai latar belakang bisa saling mengunjungi dan berbagi pengalaman, memperlihatkan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi untuk hidup berdampingan dalam damai.
Kalau setiap pihak mau belajar saling memahami dan menghargai, mungkin Cilegon bisa jadi kota percontohan toleransi, bukan hanya soal industri.
Akhir Kata: Harapan untuk Masa Depan
Mengajak pembaca untuk berpikir lebih mendalam tentang keberagaman dan toleransi agama di Indonesia. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan toleran.
Mulai dari hal-hal kecil seperti menghormati perbedaan di sekitar kita, hingga partisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Dengan begitu, kita bisa bersama membangun Indonesia yang lebih harmonis dan damai.
Jadi, Cilegon, mungkin suatu hari nanti, gereja pun bisa punya tempat di kotamu, sama seperti pabrik-pabrik itu. Bukankah indah kalau semua bisa hidup rukun dan damai?
Penulis: Firasat Nikmatullah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI