Banda Aceh, dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh globalisasi dan ketidaksetaraan, konsep kewarganegaraan bukan lagi sekadar dokumen paspor atau hak suara, melainkan fondasi identitas kolektif yang dinamis. Sosiologi kewarganegaraan, sebagai cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara individu, negara, dan masyarakat, menawarkan lensa kritis untuk memahami prinsip-prinsip ini. Dua teori utama yang sering menjadi rujukan adalah teori T.H. Marshall dan Bryan Turner. Melalui keduanya, kita dapat melihat bagaimana kewarganegaraan berevolusi dari hak formal menjadi komitmen sosial yang lebih inklusif, terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang bergulat dengan isu multikulturalisme dan ketimpangan.
T.H. Marshall, sosiolog Inggris abad ke-20, dalam karyanya Citizenship and Capitalism (1950), menguraikan prinsip kewarganegaraan sebagai proses historis yang bertahap. Ia membagi hak kewarganegaraan menjadi tiga dimensi utama: sipil, politik, dan sosial. Hak sipil mencakup kebebasan individu seperti hak atas keadilan, kepemilikan properti, dan kebebasan berpendapat prinsip dasar yang lahir dari Revolusi Industri di Eropa. Hak politik melibatkan partisipasi dalam pemerintahan, seperti hak memilih dan dipilih, yang berkembang pada abad ke-19. Sementara itu, hak sosial yang paling revolusioner muncul pasca-Perang Dunia II, menjamin akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan minimum untuk mencegah kelas sosial yang terpinggirkan.
Prinsip Marshall menekankan bahwa kewarganegaraan bukan hak statis, melainkan kontrak sosial yang melindungi warga dari eksploitasi kapitalis. Di Indonesia, ini relevan dengan UUD 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial. Namun, realitas menunjukkan ketidakseimbangan: hak sipil dan politik sering kali lebih kuat daripada hak sosial, di mana jutaan warga miskin masih kesulitan mengakses layanan dasar. Marshall mengingatkan kita bahwa tanpa dimensi sosial, kewarganegaraan hanya menjadi formalitas kosong, memperlemah kohesi sosial.
Sementara Marshall fokus pada evolusi historis di negara Barat, Bryan Turner sosiolog kontemporer Australia memperluas perspektif ini ke ranah pasca-modern. Dalam bukunya Citizenship and Capitalism (1986) dan karya-karya selanjutnya, Turner melihat kewarganegaraan sebagai konstruksi budaya dan identitas yang fleksibel. Ia memperkenalkan prinsip "kewarganegaraan pasif" versus "aktif", di mana warga tidak hanya menerima hak dari negara, tetapi juga membentuk identitas melalui komunitas global, hak asasi manusia, dan pengakuan budaya. Turner menyoroti bagaimana globalisasi mengerosi kewarganegaraan nasional, digantikan oleh "kewarganegaraan kosmopolitan" yang menekankan toleransi, mobilitas, dan hak minoritas.
Bagi Turner, prinsip utama sosiologi kewarganegaraan adalah inklusivitas: negara harus mengakomodasi keragaman etnis, agama, dan gender untuk mencegah konflik. Ini kontras dengan Marshall yang lebih struktural, karena Turner menambahkan dimensi emosional seperti rasa memiliki dan solidaritas yang krusial di era digital. Di Indonesia, teori Turner relevan dengan tantangan seperti diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau migran, di mana kewarganegaraan harus melampaui batas etnis untuk membangun "bangsa yang adil dan makmur".
Membandingkan kedua teori, Marshall memberikan kerangka historis yang kokoh untuk hak-hak dasar, sementara Turner menawarkan adaptasi untuk dunia yang cair. Prinsip sosiologi kewarganegaraan yang muncul dari keduanya adalah: (1) Kewarganegaraan sebagai hak bertingkat yang harus inklusif secara sosial; (2) Kewajiban negara untuk melindungi identitas kolektif tanpa mengorbankan kebebasan individu; dan (3) Evolusi berkelanjutan yang menanggapi perubahan sosial, seperti pandemi atau perubahan iklim.
Opini saya, sebagai pengamat sosiologi, adalah bahwa Indonesia perlu mengintegrasikan kedua teori ini dalam kebijakan publik. Pemerintah harus memperkuat hak sosial ala Marshall melalui program seperti Kartu Indonesia Sehat, sambil mengadopsi pendekatan Turner dengan reformasi pendidikan yang mempromosikan toleransi multikultural. Tanpa itu, kewarganegaraan kita berisiko menjadi alat pembagian, bukan perekat persatuan.Saatnya kita merefleksikan: apakah kewarganegaraan kita masih relevan, atau hanya warisan kolonial yang usang?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI