PESONA Â KEBENCIAN
Angin sepoi malam ini membuyarkan lamunan Amrah. Ia gadis kecil yang lahir 8 tahun silam. Tak banyak yang dapat terungkap dari bulatnya bola mata. Ia masih terkenang kepergian sang bunda yang mendadak. Belum juga sembuh kepiluan karena kehilangan ayah, tepat tiga bulan yang lalu. Kini Amrah hanya mampu mengusap dada dan pasrah akan takdir yang menimpanya.
"Makan malam dululah," ajak wanita itu parau. Amrah hanya menggeleng dan langsung meninggalkan wanita itu. Padahal wanita inilah yang akan mengasuhnya setelah kedua orang tuanya tiada. Kebencian yang di alami begitu dalam saat menatap wanita ini. Ia tak peduli walau ia akan menyanggupi merawatnya kini.***
"Engkau akan tinggal bersama Makcik mu", kata Pak wa ku yang tinggal di luar kota.
" Harus denganya?, aku ingin aku pak wa saja,"
" Jangan, engkau belum tamat SD, susah urus pindah sekarang, lebih baik kamu tamatkan dulu sekolah mu," lanjut pakwa.
Entah apa yang dipikirkan Amrah malam itu, pikirannya menerawang, ia merasa terbuang karena satu-satunya wali yang ia anggap pengganti ayahnya ingin menitipkannya pada orang yang tak akrab sama sekali dengannya. Ia berusah merebahkan diri di peraduan malam itu. Tapi matanya tak bisa di ajak kompromi. Bak wanita yang menanti pinangan malam itu dirasakannya. Pikiran menerawang kemana-kemana.
" Biarkan saja ia tinggal dengan istri muda ayahnya," surau parau pak wa dari luar.
"Walau bagaimanapun ia adalah ibu tirinya," sahut seorang bapak tua.
Amrah tak tau dengan siapa pak wa bercengkrama, belum pernah ia mendengar suara itu sebelumnya. Siapa pula yang dimaksud ibu tiri dan istri muda ayahnya.
" Walau kesalahan masa lalu ayahnya akan ia ketahui nanti setelah ia dewasa, yang penting ia tidak terlantar saat ini, " pakwa melanjutkan bincanngnya.