Mohon tunggu...
Finna Tri Aw
Finna Tri Aw Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Ilmu Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Universitas Andalas

Senang Membaca dan Berdiskusi Hal Baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Strategis Media Digital dalam Menciptakan Perubahan Sosial dan Budaya yang Progresif

4 Juli 2025   00:32 Diperbarui: 4 Juli 2025   00:32 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah transformasi digital yang pesat, media massa dan digital bukan sekadar alat informasi, tetapi telah menjadi arsitek budaya dan perilaku masyarakat. Di Indonesia, dengan lebih dari 167 juta pengguna aktif media sosial pada tahun 2024 (setara 64,3% dari total populasi), serta dominasi generasi usia produktif (18--34 tahun) dalam konsumsi konten digital, ruang komunikasi publik menjadi medan yang krusial untuk pembangunan sosial, budaya, dan peradaban. Namun, persoalannya bukan sekadar jumlah pengguna, tetapi bagaimana media dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran, mengubah perilaku, dan mendukung pembangunan sosial-budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.

Dalam konteks ini, rencana aksi komunikasi pembangunan perlu memanfaatkan media sebagai sarana perubahan sosial (social change media). Perubahan bukan semata-mata terjadi karena banyaknya informasi yang disampaikan, tetapi karena kualitas pesan, narasi, dan cara penyampaian yang mampu menyentuh nalar dan nurani masyarakat.

Pertama, media harus menjadi penggerak kesadaran publik. Ini dapat dilakukan dengan memproduksi konten edukatif yang sistematis, mudah dicerna, dan kontekstual. Praktik Bawaslu Kota Kediri dalam mendorong partisipasi Gen Z dalam pemilu 2024 adalah contoh konkret. Melalui Instagram, TikTok, dan kampanye kreatif digital, mereka berhasil menyasar segmen muda dengan konten yang informatif dan menarik, meningkatkan kesadaran politik serta mendorong literasi demokrasi. Pola semacam ini dapat diterapkan untuk isu-isu sosial lainnya, termasuk pendidikan, kesehatan mental, inklusi sosial, hingga pencegahan penyimpangan sosial seperti penyebaran hoaks, radikalisme, dan LGBT.

Kedua, media digital mampu mendorong perubahan perilaku masyarakat, tidak hanya dengan memberikan informasi, tetapi dengan membangun opini kolektif. Konten yang inspiratif, kisah transformasi nyata, serta narasi yang emosional dan relevan, mampu menggerakkan empati dan tindakan. Misalnya, kampanye gaya hidup sehat atau edukasi karakter di sekolah akan lebih berdampak jika dikemas dalam bentuk video pendek, storytelling visual, atau interaktif seperti polling, kuis, dan siaran langsung. Pendekatan ini lebih efektif menjangkau generasi digital native yang cenderung responsif terhadap visual, kecepatan, dan interaktivitas.

Ketiga, dukungan terhadap pembangunan sosial dan budaya juga bergantung pada bagaimana media merawat nilai dan identitas bangsa. Media harus menjadi alat perekat sosial, bukan pemicu perpecahan. Tantangan utama saat ini adalah membanjirnya konten viral yang seringkali merusak etika, mempromosikan gaya hidup hedonistik, atau bahkan menormalisasi penyimpangan nilai. Di sinilah pentingnya kurasi konten, peran aktif diskominfo dan institusi negara, serta penguatan literasi media agar masyarakat mampu memilah dan memilih informasi yang bermanfaat.

Diskominfo Jawa Barat, misalnya, telah menerapkan strategi komunikasi visual dan edukatif melalui akun Instagram dan YouTube. Mereka memproduksi konten "Kamus Gen Z", "Jangan Kalap Saat Buka Puasa", hingga "Kenali Gejala Demam Berdarah" yang dikemas dengan gaya visual segar dan ringan, namun tetap edukatif. Ini menunjukkan bahwa media pemerintah dapat tetap relevan jika mengikuti tren sekaligus menjaga substansi.

Namun, kesuksesan media sebagai agen pembangunan sosial tak akan tercapai tanpa tiga syarat utama:

  1. Kebijakan komunikasi publik yang jelas dan konsisten, termasuk penyusunan konten berbasis data dan kebutuhan masyarakat.

  2. Kolaborasi antara pemerintah, media, influencer, dan komunitas lokal agar pesan memiliki resonansi dan diterima lintas segmen.

  3. Evaluasi berkala terhadap efektivitas media, termasuk analisis engagement, respons audiens, dan dampak sosial dari setiap kampanye yang diluncurkan.

Media sosial bukan semata tempat hiburan, melainkan panggung pengaruh yang menentukan arah moral dan sosial bangsa. Oleh karena itu, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku media harus bersama-sama merancang ekosistem komunikasi pembangunan yang sehat, produktif, dan inklusif. Di tengah arus informasi yang masif, hanya narasi yang menyentuh kesadaran dan terhubung dengan identitas kolektiflah yang akan bertahan dan membentuk peradaban.

Rujukan

  • Zharfan, S. Z., Rudiana, & Centia, S. (2024). Perencanaan Komunikasi Pemerintahan dalam Pengelolaan Konten Media Sosial. Responsive: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Bidang Administrasi, Sosial, Humaniora dan Kebijakan Publik, 7(4), 240--253.

  • Kolil, M. T., et al. (2024). Media Sosial Sebagai Upaya Peningkatan Partisipatif Gen-Z Kota Kediri Dalam Pengawasan Pemilu 2024. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 14(1), 82--89.

  • Katadata (2024). Statistik Pengguna Media Sosial di Indonesia Tahun 2024. Databoks.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun