Setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda tentang asal mula sastra Indonesia. Memang, lahirnya sastra Indonesia merupakan bagian dari sejarah sastra yang berlangsung di Indonesia. Hingga saat ini, penentuan awal mula lahirnya sastra Indonesia dan standar sebuah karya yang disebut sastra Indonesia masih menjadi perdebatan.Â
Selama ini para pemerhati dan akademisi sastra (humaniora) memiliki pandangan yang berbeda tentang lahirnya sastra Indonesia, sehingga menimbulkan berbagai pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan interpretasi terhadap ciri-ciri sastra Indonesia, serta belum adanya konsensus yang dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pada hakikatnya sastra bersifat intersubjektif dalam arti bahwa pendapat dapat diungkapkan.
1. Umar Junus
Dalam esai yang dimuat di majalah Medan Sains, Umar Junus membahas tentang lahirnya Sastra Indonesia Modern (1960). Dia berpendapat bahwa sastra ada sebelum bahasa. "Sastra X hanya ada setelah bahasa X ada," jelasnya, "yang berarti sastra Indonesia hanya ada setelah bahasa Indonesia ada. "Umar Junus juga mengklaim bahwa "sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928" karena bahasa Indonesia baru ada pada tahun 1928 (dengan Sumpah Pemuda).Â
Karya-karya yang diterbitkan sebelum tahun 1928 -- yang biasanya digolongkan sebagai karya sastra Angkatan '20 atau Balai Pustaka -- tidak dapat dimasukkan "dalam kategori produk sastra Indonesia", menurut Umar Junus, tetapi hanya "sebagai hasil dari New/Modern sastra Melayu." Alasan Umar Junus: : Karya-karya itu "bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu".
2. Ajip Rosidi
Sudut pandang Ajip Rosidi tentang lahirnya sastra Indonesia dapat ditemukan dalam bukunya "Kapan Sastra Indonesia Lahir?" (1985). Ajip mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa adanya bahasa. Namun, sebelum suatu bahasa diakui secara resmi, bahasa tersebut harus sudah ada dan digunakan oleh masyarakat.Â
Akibatnya, Ajip menentang penetapan bahasa sebagai kriteria lahirnya sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Ajip, di sisi lain, berpendapat bahwa kesadaran nasional harus dijadikan standar. Berdasarkan kebangsaan tersebut, tahun lahir Sastra Indonesia Modern ditetapkan menjadi 1920/1921 atau 1922.
Apa yang membuat Ajip memilih tahun-tahun itu? Ajip memilih tahun 1920/1921 bukan karena Azab, Sengsara, dan Siti Nurbaya terbit pada tahun itu, melainkan karena para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan puisi-puisi nasional mereka di majalah Jong Sumatra tahun itu. (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra).Â
"Kalau buku-buku Azab, Sengsara, dan Siti Nurbaya dianggap berwatak nasional (harus diingat bahwa Balai Pustaka, organ pemerintah kolonial, yang menerbitkannya), tidak demikian halnya dengan puisi-puisi para penyair yang saya sebutkan tadi. "Isi dan bentuknya jelas berbeda dengan sastra Melayu pada umumnya. Lirik puisi bertema tanah air dan bangsa terjajah merupakan sesuatu yang unik.