Mohon tunggu...
Frans Budi
Frans Budi Mohon Tunggu... Konsultan - Tidak semua orang yang cari aman itu buruk. Orang yang cari aman lewat asuransi, itu org yang baik

Pulang ke dunia aku dilahirkan. Lahir kembali di dunia yang selalu mengantarku pulang

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengaruh Norma Agama dalam Terjadinya Dilema Bisnis

22 Januari 2012   13:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:34 3033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh: Aan Anak Bangsa

Agama memiliki pengaruh kuat dalam diri seorang individu. Konsep kereligiusan seseorang mempengaruhi penilaian, keyakinan, dan perilaku individu dalam berbagai situasi. Karena sifat transendentalnya, nilai-nilai moral dan agama yang muncul dari agama terinternalisasi dalam diri seseorang dan bersifat mutlak ___tidak dapat ditawar-tawar. Ketika seseorang memasuki dunia bisnis,  seseorang akan dihadapkan pada nilai-nilai perusahaan dan sekaligus pada nilai-nilai agama. Dua nilai tersebut akan terinternalisasi dan mempengaruhi perilaku bisnis seseorang. Banyak situasi di mana ada dua atau lebih nilai yang saling bertentangan sehingga seseorang akan mengalami dilema. Di sinilah muncul apa yang disebut dengan dilema bisnis.

Dilema bisnis muncul karena ada tiga elemen yang saling berkaitan: keyakinan/agama personal, nilai-nilai yang terinternalisasi, dan perilaku bisnis. Dalam paper ini akan dibahas mengenai ketiga elemen tersebut sehingga akan tampak keterkaitannya. Dengan memahami keterkaitannya, diharapkan manajer maupun pelaku bisnis dapat meminimalisasi konflik yang berpotensi terjadi dalam bisnis.

Rumusan Masalah

Dalam paper ini, akan dibahas mengenai hubungan antara agama dan dilema bisnis yang terjadi. Pertama-tama, akan dibahas mengenai konsep agama dan dilema bisnis. Pada dasarnya, ada dua metode untuk mengkategorikan dilema bisnis (Johan Graafland et al., 2006). Pertama, dilema bisnis dapat dikategorikan sesuai dengan standar (nilai-nilai dasariah) yang menghasilkan dilema. Pertanyaan yang dapat mewakilinya adalah: “Seberapa sering standar agama menghasilkan dilema?” Kedua, dilema bisnis dapat dikategorikan sesuai dengan sumber standar yang menghasilkan dilema. Pembahasan kedua hal tersebut akan diikuti dengan pembahasan mengenai sumber-sumber dilema standar dan dilema bisnis tersebut. Pertanyaan yang dapat mewakilinya adalah: “Apakah dilema bisnis merupakan konflik antara nilai-nilai standar yang terinternalisasi dan orang-orang di dalam bisnis atau konflik antar nilai-nilai standar yang berbeda?”

Agama (Religion)

Ada banyak definisi mengenai agama. Menurut Encyclopædia Britannica, agama merupakan penghubung antara manusia dengan apa yang bagi mereka suci, sakral, spiritual, atau ilahi. Pemujaan mungkin menjadi elemen dasar dari suatu agama, tetapi tindakan moral, kebenaran, dan keterlibatan dalam hidup beragama menjadi elemen yang penting juga (www.britannica.com, 2011). Spiro (1966) memberikan definisi mengenai agama yang menggabungkan antara aspek transendental dan sosial: “Religion is an institution consisting of culturally patterned interaction with culturally postulated superhuman beings.” Agama merupakan seperangkat jawaban yang koheren untuk pertanyaan-pertanyaan eksistensial (mendasar) yang dihadapi oleh sekelompok manusia (Johan Graafland, 2006).
Tom Jacobs menyebut agama sebagai bahasa iman (Tom Jacobs, 2002). Menurut Immanuel Kant, Allah yang ada dalam agama  merupakan “kebaikan mutlak” yang memberikan suatu kewajiban moral. Karenanya, manusia harus melakukan yang baik karena ada kebaikan mutlak yang menariknya. Dasar pemikiran Kant adalah keterarahan pada Nan Baik, yang mendasari kepercayaan akan yang Nan Baik itu (Tom Jacobs, 2002). Semua ungkapan keterarahan tersebut terungkap dalam syahadat (pengakuan iman), berbagai perayaan ritual, dan dalam bentuk kelembagaan/institusi agama. Elemen mendasar dari keyakinan religius suatu agama adalah pertanyaan eskatologis dari tujuan akhir hidup manusia (Thakur, 1969).
Konsep tentang Tuhan, konsep tentang manusia, dan harapan eskatologis sering terkait dengan keyakinan normatif. Lewis (1947) mengungkapkan bahwa agama tanpa keyakinan normatif tidak akan bertahan. Keyakinan normatif tersebut merupakan standar bahwa seorang individu telah menginternalisasi dan menjalankan perintah agama. Ketika standar terinternalisasikan, maka seorang individu telah mengembangkan sebuah “sistem sanksi internal” (Coleman, 1990). Efek dari pelanggaran standar tersebut adalah ketidaknyamanan atau rasa bersalah (berdosa), pelanggaran administratif (seperti yang ada dalam Agama Katolik yang tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik – KHK), dan dapat pula bersifat sanksi fisik/pidana (Misal, hukuman cambuk. Ini hanya ada dalam agama Islam). Donagan (1996) berpendapat bahwa standar terinternalisasi yang berbasis di perintah ilahi mungkin lebih cenderung untuk menghasilkan dilema. Hal ini terjadi karena kadang terjadi perbedaan prinsipil antara prinsip-prinsip etika dalam agama dengan prinsip-prinsip etika dalam lingkungan, di mana kadangkala seseorang menduduki peran yang berbeda-beda, baik di keluarga, tempat kerja, dan sebagainya.

Dilema Bisnis

Suatu dilema bisnis dapat diartikan sebagai konflik antara nilai-nilai yang berbeda (Trompenaars dan Hampden-Turner, 1998), idealisme yang berbeda (Railton, 1996), tugas yang berbeda (Brink, 1996; Donagan, 1996), maupun wilayah yang berbeda. Pada tingkat yang lebih umum, dilema bisnis dapat didefinisikan sebagai konflik antara standar yang berbeda. Standar mencakup nilai, cita-cita, tugas dan norma-norma.
Untuk mengklasifikasikan dilema bisnis, kita bisa membuat pembedaan terhadap tiga jenis standar: standar moral, standar agama, dan standar praktis. Pertama adalah standar moral (Velasquez, 1992). Contoh standar moral adalah solidaritas, keadilan, kejujuran, kerjasama. Standar moral ini berbeda dari standar non-moral dalam beberapa aspek (Kaptein dan Wempe, 2002). Perbedaan itu yaitu: pertama, standar moral ini mengesampingkan standar non-moral; kedua, standar moral tidak memihak dan melampai kepentingan individu atau kelompok tertentu; ketiga, standar moral bersifat universal dan berlaku untuk umum dan berlaku untuk semua orang dalam kondisi apapun; keempat, standar moral berkaitan erat dengan isu-isu yang berkaitan erat dengan kesejahteraan orang lain.
Kedua adalah standar agama. Banyak standar agama telah memenuhi kriteria standar moral. Misalnya, keadilan adalah standar penting dalam banyak agama, tetapi telah menjadi standar moral umum juga. Tetapi ada juga standar agama yang khusus dan tidak ada dalam standar moral. Misalnya, perintah untuk tidak bekerja pada hari Minggu bagi orang Yahudi bukanlah bagian dari standar moral. Hal tersebut menyiratkan bahwa ada standar-standar moral yang tidak berlaku bagi semua orang yang memiliki agama yang berbeda-beda maupun yang tidak beragama.
Ketiga adalah standar praktis. Standar praktis ini mencakup semua standar yang lain (non-moral dan non-agama). Contohnya adalah profitabilitas, kepentingan diri sendiri dan kebanggaan. Semua standar, yaitu moral, agama, dan praktis dapat terlibat dalam dilema. Dilema di sini dipahami sebagai suatu konflik antara standar yang berbeda.

Sebuah dilema yang muncul dari konflik antara dua standar moral diklasifikasikan sebagai dilema moral. Dilema yang dihasilkan dari konfik antara standar moral dan standar agama diklasifikasikan sebagai dilema eksistensial agama. Situasi dilema ini sangat menantang. Di satu sisi, standar moral menempati prioritas tinggi di antara standar agama dan praktis (artinya, standar moral mengesampingan standar yang lain). Di sisi lain, karena standar agama dapat memainkan peranan sentral dalam hidup individu, standar yang mereka peroleh dari standar agama kadangkala justru ditempatkan lebih tinggi daripada standar moral. Dilema yang muncul karena konflik antara standar moral dan standar praktis ini diklasifikasikan sebagai dilema motivasi. Dilema ini menghadapkan individu pada masalah motivasi moral, yaitu apa yang memotivasi orang untuk bertindak sesuai dengan standar moral mereka. (Crisp, 1998).
Sebuah dilema yang dihasilkan dari sebuah konflik antara dua standar agama diklasifikasikan sebagai dilema keagamaan. Hal tersebut dapat terjadi ketika ada konflik antara standar religius dari sistem religius yang berbeda. Sebuah dilema yang muncul dari konflik antara standar praktis dan standar agama diklasifikasikan sebagai dilema agama praktis. Sebuah dilema yang dihasilkan dari sebuah konflik antara dua standar praktis diklasifikasikan sebagai dilema praktis.
Bisnis merupakan bagian dari aktivitas individu dan kelompok yang memuat standar praktis. Di sinilah standar praktis yang ada dalam bisnis berhadapan dengan dilema yang muncul karena berbenturan dengan standar moral dan standar agama. Dilema antara standar praktis bisnis dan standar agama inilah yang menjadi permasalahan utama yang dibahas dalam paper ini.

Sumber-sumber dilema bisnis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun