“Jika manusia bisa menciptakan artificial intelligence (akal imitasi) untuk memprediksi cuaca di Mars, mengapa kita tidak bisa menciptakan teknologi untuk memastikan Orangutan, Gajah, dan Harimau tetap hidup di bumi?”
Pertanyaan ini seharusnya menjadi renungan sekaligus tantangan. Kita sering terpesona dengan kecanggihan teknologi, tetapi abai pada kenyataan pahit, bahwa satwa karismatik Indonesia terus terjebak dalam jurang kepunahan.
Tanggal 4 Oktober, Hari Satwa Sedunia, membawa pesan moral yang lebih dari sekadar seremoni. Tema Speak for the Species adalah ajakan global untuk bersuara bagi yang tak bisa bersuara. Orangutan di Kalimantan, gajah di Sumatra, dan harimau yang kian langka bukan sekadar satwa. Mereka adalah simbol integritas ekosistem Indonesia. Namun di balik simbol itu, krisis terus mengintai dengan wajah getir.
Data menunjukkan bahwa populasi orangutan Borneo menyusut lebih dari 100 ribu dalam dua dekade terakhir, terutama akibat ekspansi perkebunan sawit dan tambang (Voigt et al., 2018; Wich et al., 2021). Gajah Sumatra kini hanya tersisa sekitar 1.700 ekor, sebagian besar terjebak di habitat terfragmentasi, sehingga konflik dengan manusia meningkat drastis (WWF Indonesia, 2022). Harimau Sumatra, predator puncak yang menjaga keseimbangan rantai ekologi, diperkirakan hanya tinggal 600 ekor, sebagian besar terancam jerat pemburu yang memasok pasar obat tradisional Asia (TRAFFIC, 2021).
Lebih ironis, era digital justru membuka jalur baru perdagangan satwa liar. Online marketplace (pasar daring) penuh dengan tawaran satwa ilegal, dari bayi orangutan hingga bagian tubuh harimau (Nijman et al., 2022). Di saat bersamaan, mesin berat dan infrastruktur tanpa kendali mempercepat deforestasi. Apa yang disebut modernisasi, dalam banyak kasus, telah menjelma menjadi bencana ekologis.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa krisis sering melahirkan lompatan. Teknologi yang dulu dianggap ancaman, kini bisa diputarbalikkan menjadi pelindung.
Drone surveillance (pengawasan dengan drone) sudah membantu memantau pergerakan satwa dan aktivitas ilegal di hutan (Koh & Wich, 2018). AI-powered camera traps (kamera jebak berbasis AI) memungkinkan identifikasi otomatis spesies, mempercepat penelitian dan deteksi ancaman (Beery et al., 2019). Bahkan, aplikasi real-time conflict reporting (pelaporan konflik langsung) berbasis GPS kini dipakai masyarakat untuk mencegah gajah masuk ke ladang (Fernando et al., 2020).
Lebih jauh, genetic forensics (forensik genetik) membuka jalan baru untuk melacak asal-usul satwa yang diperdagangkan secara ilegal (Iyengar, 2020). Dengan DNA barcoding, aparat bisa memetakan jaringan perdagangan, bukan sekadar menangkap pelaku di lapangan.
Di sinilah titik terang muncul! Teknologi bisa menjadi sekutu, bukan musuh.
Teknologi tanpa akar sosial hanyalah ilusi. Yang membuatnya hidup adalah aksi nyata di lapangan. Di Aceh, community ranger (penjaga komunitas) melibatkan warga desa untuk patroli hutan dengan aplikasi sederhana (Wildlife Conservation Society, 2022). Di Kalimantan, masyarakat adat berkolaborasi dengan NGO menggunakan drone untuk memantau orangutan. Di Riau, alarm berbasis bunyi dipasang di ladang untuk menghalau gajah, solusi murah tapi efektif.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa inovasi sejati lahir dari pertemuan teknologi dan empati.