Mohon tunggu...
Fikri Maulana
Fikri Maulana Mohon Tunggu... Politisi - Sekedar Kaum Tertindas

Muda Berkarya, Tua Bahagia, Sukses Muda, Mati Masuk Surga.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Masyarakat Susah, DPR Berulah

9 November 2020   00:40 Diperbarui: 9 November 2020   01:20 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senin, 5 oktober 2020 masyarakat Indonesia dibuat terkejut oleh ulah DPR-RI yang mengesahkan UU Omnibus Las menjadi Undang-Undang. Sidang Paripurna tersebut seakan sengaja dipercepat dari jadwal sebelumnya yang akan diselenggarakan pada 8 oktober 2020, mengingat desas-desus dijagat media sosial akan mobilisasi massa buruh dan mahasiswa dari 6-8 oktober 2020.

Dalam situasi krisis yang diakibatkan oleh pandemi yang bahkan situasi nasional pun belum teratasi dengan baik, DPR-RI ini malah "memaksakan diri" untuk melegalkan UU ini menjadi Undang-Undang. Padahal pada saat awal kemunculan Corona di Indonesia sendiri sempat ada pembahasannya, tetapi Presiden menginstruksikan untuk menunda pembahasan dan lebih fokus terhadap penangan pandemi guna mengamankan situasi nasional.

DPR-RI ini seakan buta, tuli, tak bersimpati juga tidak adanya rasa tenggang rasa untuk berfokus pada penangan Corona, malah fokus mengesahkan UU yang diambil dari 79 Undang-Undang dan 1422 Pasal yang telah menjadi Undang-Undang Omnibus Law atau UU Sapu Jagat, karena dalam satu Undang-Undang yang bisa merivisi beragam Undang-Undang yang sudah ada.

Beragam aksi penolakan dilontarkan oleh beragam masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, mahasiswa dan buruh berusaha mendesak pemerintah dan DPR supaya menghentikan pembahasan UU Omnibus Law yang dalam prosesnya saja banyak sekali kejanggalan, tidak adanya dengar pendapat dari masyarakat yang akan terdampak, tidak adanya naskah akademik yang transparan terhadap publik, bahkan saat pengesahannya anggota dewan sendiri tak diberi draft final UU tersebut.

Proses pembuatan UU yang cenderung tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan sangat minim melibatkan partisipasi publik inilah yang dikecam oleh beragam pihak, mulai dari organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, organisasi buruh, dan sebagainya. Misalnya tidak semua stakeholders merasa dilibatkan dalam pembahasan UU tersebut (Azas keterbukaan, tidak jelasnya draft UU yang disiapkan yang membuat masyarakat kesulitan mengawal dan memberikan pandangannya dari awal).

Cacat proses dalam pembuatan UU Omnibus Law tersebut menimbulkan respon ketidakpuasan dari masyarakat yang berujung pada penolakan terhadap UU tersebut, dan pada akhirnya setelah disahkannya Undang-Undang ini mengharuskan adanya judicial review, sehingga akan berimplikasi terhadap efektivitas dari Undang-Undang tersebut.

Ketika memang sudah disahkannya menjadi Undang-Undang yang menghadirkan beragam intrik di masyarakat yang menuntut terhadap birokrasi di daerah untuk tegas menolak Undang-Undang yang baru saja disahkan, dan membawa beragam aspirasi dari masyarakat kepada DPR-RI dan pemerintah dengan mendesak segera mengeluarkan perpu (Peraturan Pengganti Undang-Undang).

Dalam pembuatan UU nya sendiri, seharusnya pemerintah memperhatikan kepentingan bangsa dan negara secara universal, bukan hanya sekedar berfokus pada kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Para ahli menegaskan bahwa dalam Omnibus Law ini memberikan keistimewaan kepada dunia investasi tanpa memperhatikan aspek sosial, misalnya perlindungan HAM, perlindungan hutan dan lingkungan, serta secara substansial melanggar hak-hak warga negara.

Kekhawatiran munculnya dampak sosial yang lebih dirasakan oleh para buruh ialah dengan dibukanya investasi secara besar-besaran guna mengundang investor ke negara kita justru malah menjadi ancaman tersendiri bagi buruh tersebut.

Pembahasan UU Cipta Kerja ini sangat tidak mempertimbangkan aspek kestabilitasan kesehatan dan keadaan nasional yang sedang berjibaku melawan virus corona, sangat disayangkan para elit yang seharusnya mengerti keadaan negeri ini, hanya berfokus pada ego sektoral belaka demi kepentingan segelintir elit didalamnya.

Demokrasi yang seharusnya memberikan peluang sebesar-besarnya terhadap masyarakat sipil supaya terlibat dalam segala proses politik yang ada, seharusnya ditempuh dengan memberikan aspek transparansi, akuntabilitas, proporsional, dan profesionalitas. Dalam hal ini perlu adanya kesetaraan juga dialogis antara masyarakat sipil dengan pemerintah dan DPR-RI, supaya menghadirkan clean and good governance.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun