Mohon tunggu...
Muhammad Fikri
Muhammad Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Tanjungpura/pernah mengikuti lomba esai dan KTI se-Indonesia

Saya adalah penulis muda dari Kalimantan yang hobi menulis dan mendesain. Walaupun ada kesibukan sekalipun. Saya tidak akan berhenti dari keduanya. Saya hobi menulis artikel apapun, khususnya topik self-improvement, review buku, pendidikan, dan lingkungan. Stay tune! "Belajar Sepanjang Hayat" - Fikri 2024

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Berbicaralah yang Baik atau Diam: Renungan untuk Menjaga Lisan

20 Juni 2025   19:33 Diperbarui: 20 Juni 2025   19:33 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kutipan berbicaralah yang baik atau diamlah (fikrimusyafiq)

Kemarin, kita melihat seorang tokoh agama terkenal masuk ke acara televisi di Kompas TV. Tidak hanya beliau, ada juga anak muda yang masuk sebagai narasumber. Acara di hari itu membahas tentang keberadaan tambang di Pulau Gag, Papua. Seperti yang kita ketahui, tambang ini sangat kontroversial karena berada di hutan yang seharusnya dijaga. Namun, apa yang dikatakan tokoh agama itu?

"Tambang adalah nikmat Tuhan" ujar pria paruh baya itu.

Bayangin aja, tokoh agama yang seharusnya membela kebenaran namun malah berada di fraksi pemerintah. Setelah berbicara seperti itu, semua mata tertuju padanya, bahkan ia dihujat habis-habisan.

Satu kalimat itu membuat reputasinya semakin hancur lebur. Entah bagaimana kelanjutannya nanti kita tidak tahu. Namun, sebesar itulah kekuatan dari mulut manusia. Makanya kita selalu diingatkan oleh satu kutipan.

"Bicaralah yang baik atau diamlah."

Seorang penulis bernama Iqro' al-Firdaus pernah membahas lebih dalam mengenai hal ini. Ia menuliskan pemikirannya di dalam bukunya yang berjudul "Bicaralah yang Baik atau Diamlah". Buku ini lumayan padat isinya, mulai dari menjadi pribadi yang baik, berbicara yang baik, bahaya menggunjing, mencela, berkomunikasi yang baik, dan sebagainya.

Namun, secara umum buku ini bahwa kita harus senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Sebab, setiap perkataan kita bisa jadi menyinggung lawan bicara. Memang, kalo kita salah bicara maka tinggal minta maaf dan diralat. Tapi, apakah lawan bicara kita akan memaklumi? Apalagi jika berbicara di depan khalayak umum.

"Untuk urusan melukai, kata-kata lebih tajam"

Itulah yang dikatakan oleh M.Faizi, sastrawa dan penyair dari Madura. Memang, pisau itu tajam, tapi lisan lebih tajam. Setajam-tajamnya benda fisik, ternyata lebih menyakitkan ucapan dari seorang insan.

Luka di tubuh bisa cepat sembuh, bahkan bisa diprediksi dengan tepat oleh dokter. Namun, bagaimana dengan luka hati? Hati itu abstrak, tak terlihat, dan ranahnya mental, serta dampaknya bisa kemana-mana. Dari luka hati, menjadi kekerasan, pembunuhan, fitnah, menggunjing, dan sebagainya. Sungguh, betapa mengerikannya lisan manusia. Maka dari itu, kita harus berbicara yang baik dengan orang lain. Cukup satu tips supaya bisa berbicara dengan baik, yaitu terapkan empati didalamnya.

Buku ini juga mengungkapkan bahwa kualitas seseorang dilihat dari kata-katanya. Manusia itu ibaratnya sesuatu yang keluar (dari lisannya) mencerminkan sesuatu yang di dalamnya. Setiap kali kita berbicara maka otomatis membiarkan orang untuk menilai diri kita. Kalau kita tutup mulut maka orang tidak akan tau banyak tentang kita. Hal ini menguntungkan untuk menjaga personal branding.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun