Mohon tunggu...
fikri fachriezal
fikri fachriezal Mohon Tunggu... Polisi - religius moderat progresif

religius moderat progresif

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yang Inspirasional; Pancasila dan Puasa

6 Juni 2016   11:01 Diperbarui: 8 Juni 2016   21:27 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun ini, isu-isu mengenai Pancasila menguat seiring banyaknya peristiwa serta reaksi yang mengikutinya, antara lain adanya kelompok yang mengkhawatirkan bangkitnya Partai Komunis Indonesia, bangkitnya orde baru, meluasnya pengaruh radikalisme dan terorisme, serta ancaman kapitalisme dan liberalisme.

Banyak pengamat, sejarawan dan media yang akhirnya mengupas lagi sejarah Pancasila, baik hal-hal yang tersembunyi maupun yang sengaja disembunyikan. Klimaksnya ketika 1 Juni 2016, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila bahwa 1 Juni ditetapkan  : diliburkan dan diperingati sebagai hari lahir Pancasila.

Sejak awal ditetapkan sebagai dasar negara, harus diakui bahwa Pancasila memang telah menunjukan kesaktiannya. Telah banyak peristiwa yang mencoba untuk mengubah ideologi bangsa tersebut.

Gempuran ideologi impor terus membayang-bayanginya, namun tetap Pancasila dirindukan untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk. Jika Pancasila memang telah sakti, masih perlukah memperingati Hari Kesaktian Pancasila? 

Ashadi Siregar dalam opininya di Kompas, 31 Mei 2016, menulis 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila, tapi justru terlihat seperti hari berkabung karena adanya pengibaran bendera setengah tiang. Ia mengusulkan untuk diganti saja menjadi Hari Perkabungan Nasional. Peristiwa pembunuhan sejumlah perwira tinggi TNI yang diikuti oleh pembunuhan massal banyak anak bangsa. Peringatan 1 Oktober terasa seperti kita belum keluar dari ketakutan dan prasangka masa lalu.

Pancasila Kini

Sebenarnya dan seharusnya, tidak sulit mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai ketauhidan, tenggang rasa, patriotisme, musyawarah mufakat dan gotong royong merupakan bagian dari tradisi bangsa dan kearifan lokal masyarakat Indonesia sejak dahulu.

Hanya saja, eksistensi dan implementasi Pancasila akhirnya harus mengalami pasang surut karena pada setiap rezim terlihat menafsir berbeda untuk kepentingan politik kekuasaan, sehingga Pancasila terasa kaku dan dogmatis, terjadi ketidakpastian jati diri, tidak tumbuh menjadi jiwa bangsa.

Selanjutnya mengakibatkan disorientasi nilai dasar negara dan memudarnya kesadaran terhadap nilai dan etika berbangsa. Elite yang justru sering gagal mengamalkan Pancasila, ikut merusak nilai-nilai Pancasila dengan mengatasnamakan negara, seperti pelanggaran hak asasi manusia hingga menuduh pihak lain tidak pancasilais, serta perilaku koruptif.

Pemahaman normatif Pancasila juga semakin ditinggalkan karena dihapuskannya Pendidikan Pancasila di sekolah dan kampus. Akibatnya, sebagian kaum muda lebih menyenangi belajar teori ideologi lain.

Bukannya menjaga dan membumikan Pancasila, justru rajin mempertanyakan landasan ideologisnya apa? Filosofinya apa? Pisau analisanya seperti apa? Sebagian anak-anak muda lebih tertarik berdiskusi tentang komunisme dan sosialisme seperti progresivitas komunisme PFLP pimpinan Ahmad Saadat di Palestina, PPK-nya Recep Tayyip Erdogan di Kurdistan atau Zepatista ala Subcomandante Marcos di Meksiko. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun