Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Calon Guru Besar Saja Plagiat, Gimana Mau Bikin Jurnal?

2 Maret 2012   09:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38 2017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330694264445547116

[caption id="attachment_174597" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption] Tiga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (IKIP Bandung) diduga melakukan praktik plagiat hasil karya yang di ajukan ke Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadi guru besar. (Okezone.com, 1/3/2012)

Penggalan berita diatas mengingatkan saya pada dua hal. Yang pertama adalah kasus plagiat yang dilakukan seorang mahasiswa S3 di ITB yang kedapatan mengcopy paste sebuah makalah orang lain yang di presentasikan di seminar tingkat internasional pada tahun 2000. Kemudian makalah tersebut di presentasikan kembali atas namanya pada seminar yang serupa pada tahun 2008.

Yang kedua tentu berkaitan dengan rencana penerapan SK Dirjen DIKTI No.152/E/T/2012 tentang kewajiban menulis karya ilmiah berbentuk jurnal bagi mahasiswa S1, S2, dan S3. Mahasiswa tingkat sarjana harus membuat makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Mahasiswa tingkat master harus membuat makalah yang terbit pada jurnal ilmiah tingkat nasional dan diutamakan yang sudah di akreditasi oleh Dikti. Nah sedangkan mahasiswa tingkat doktor harus membuat makalah yang bisa diterbitkan pada jurnal ilmiah tingkat internasional.

Kebijakan tersebut kontan saja berbuah kontroversi yang sudah pula beberapa kesempatan di bahas para kompasianers. Hal ini tentu saja tamparan keras yang ke beberapa kalinya terhadap Kemendikbud. Kementerian yang di pimpin oleh M. Nuh ini tampaknya tak pernah lepas dari berbagai permasalahan yang mendera. Kebijakan-kebijakannya justru dimentahkan dengan adanya kasus-kasus seperti ini. Tapi tampaknya M. Nuh tetap cuek bebek, terutama tentang keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan Ujian Nasional bertentangan dengan hak-hak siswa peserta didik.

Dari kedua contoh diatas jelas harus ada peninjauan ulang tentang rencana kemendikbud memberlakukan kewajiban mahasiswa untuk menulis jurnal ilmiah. Tentu saja ini bisa jadi cerminan bagaimana buruknya sistem dan kualitas pendidikan kita. Seorang mahasiswa tingkat doktor dan calon guru besar saja kedapatan melakukan plagiat. Lalu bagaimana mereka bisa jadi contoh untuk mahasiswa tingkat master, sarjana atau calon mahasiswa lain?

Kejadian memalukan ini terlihat tidak dijadikan pelajaran untuk membenahi sistem pendidikan di Indonesia. Kasus pertama yang saya sebutkan diatas seharusnya sudah ada langkah konkret untuk mencegah terjadinya kasus serupa. Tapi ternyata Kemendikbud lagi-lagi kecolongan seperti Kepolisian yang selalu kecolongan mendeteksi aksi bom dan terorisme dan lebih parah karena yang diduga kedapatan melakukan plagiat adalah calon guru besar.

Dari berita yang sama disebutkan bahwa UPI menerima moratorium dari Dikti. Satu dari ketiga calon guru besar yang melakukan plagiat ternyata berasal dari hasil karya di Universitas Padjajaran (UNPAD Bandung). Selama satu tahun UPI tidak boleh mengajukan guru besar dan semua dosen tidak bisa naik golongan atau pangkat.

Ibarat nila setitik rusaklah pula susu segentong. Karena ulah tidak terpuji dari ketiga calon guru besar ini imbasnya tentu saja di rasakan dosen lain yang masih dalam satu Universitas. Pasti mereka yang terkena imbas akan merasa sangat marah dan dongkol karena terkena imbas buruk. Dan tentu saja reputasi Universitas PENDIDIKAN Indonesia menjadi tercoreng karena tindakan instan dan sangat tidak terpuji. Apalagi menjelang  SNMPTN 2012 hal ini bisa jadi memengaruhi jumlah calon mahasiswa yang mendaftar di UPI.

Menyedihkan memang pendidikan di Indonesia ini. Di tingkat SD sudah diajarkan (oknum) guru melakukan kecurangan masal pada saat Ujian Nasional, kemudian berlanjut ke tingkat SMP dan SMA. Maka mestinya kita tak perlu heran jika ada yang melakukan plagiat di tingkat Sarjana, Master bahkan calon guru besar. Semua level sudah digerogoti kanker yang ganas dan buas. Kalau dokternya tidak segera di ganti, tinggal menunggu saja kanker ganas itu melahap semua tubuh hingga tak berdaya sama sekali.

Bintaro

@gurubimbel

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun