Penilaian kebijakan merupakan proses evaluasi terhadap suatu kebijakan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Penilaian kebijakan memiliki beberapa kriteria dalam analisisnya, salah satunya yaitu mengenai efektivitas kebijakan.
Banyak didapati adanya program KIP-K yang salah sasaran memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keefektivan program ini terhadap akses pendidikan perguruan tinggi bagi mahasiswa yang mempunyai permasalahan keterbatasan ekonomi.
Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu. KIP-K telah berjalan sejak tahun 2020 yang merupakan transformasi dari program Bidikmisi.
Melalui KIP-K mahasiswa dari keluarga tidak mampu diberikan pembebasan biaya kuliah dan diberikan biaya hidup, sehingga diharapkan dapat menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi tanpa terbebani dengan masalah ekonomi keluarga.
Untuk menilai evektivitas KIP-K kita dapat melihat apakah program tersebut sudah mencapai tujuan dan sasaran yang tepat. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Program Indonesia Pintar, tujuan dari adanya KIP-K yaitu :
- Meningkatkan akses dan kesempatan belajar di Perguruan Tinggi bagi mahasiswa WNI yang tidak mampu secara ekonomi,
- Meningkatkan prestasi Mahasiswa pada bidang akademik dan nonakademik,
- Menjamin keberlangsungan studi Mahasiswa yang berasal dari daerah 3T dan/atau menempuh studi pada perguruan tinggi wilayah yang terkena dampak bencana alam atau konflik social,
- Meningkatkan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi,
Sedangakan sasaran dari penerima KIP-K yaitu (termasuk penyandang disabilitas dengan prioritas sasaran) :
- Lulusan SMA/SMK/sederajat yang  memiliki KIP.
- Berasal dari keluarga miskin/rentan miskin, termasuk Peserta Program Keluarga Harapan (PKH), Pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), atau Anak dari panti asuhan atau panti sosial.
- Mahasiswa dengan pertimbangan khusus, seperti berasal dari daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), orang asli Papua, atau anak tenaga kerja Indonesia di daerah perbatasan.
- Mahasiswa yang terdampak bencana alam, konflik sosial, atau kondisi khusus lainnya sesuai keputusan Menteri.
Pada hakikatnya KIP-K hadir untuk memberi kesempatan dan memastikan bahwa mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, muncul persoalan terkait implementasi program ini, terutama persoalan mengenai banyaknya laporan terkait penerima KIP-K yang tidak tepat sasaran.
Pada implementasinya banyak ditemukan penerima yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi mapan, sementara mahasiswa yang benar-benar membutuhkan justru tidak lolos seleksi. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam sistem penentuan penerima KIP-K.
Persoalan salah sasaran tersebut telah banyak terjadi sejak diadakannya program tersebut. Pada tahun 2024 kembali ramai diperbincangkan mengenai persoalan KIP-K yang salah sasaran.
Banyak warganet menjumpai adanya mahasiswa penerima KIP-K bahwa dari berbagai unggahannya di social media mahasiswa tersebut mempunyai gaya hidup yang mewah. Hal ini menjadikan warganet geram dan menuntut agar mahasiswa tersebut untuk mengundurkan diri sebagai penerima KIP-K.
Persoalan ini tidak hanya dijumpai pada satu atau dua mahasiswa saja akan tetapi terdapat banyak mahasiswa penerima KIP-K dari berbagai universitas yang sudah/berasal dari keluarga yang mampu, baik yang terlihat di social media ataupun adanya kesaksian dari mahasiswa yang satu universitas dengan mahasiswa penerima KIP-K yang salah sasaran tersebut.