Jakarta -- Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan perubahan fundamental dalam sistem pemilihan umum Indonesia. Putusan ini mengharuskan pemisahan penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029.
Keputusan ini lahir dari evaluasi terhadap Pemilu Serentak lima kotak pada 2019 dan 2024 yang dinilai telah menimbulkan kompleksitas tinggi, membebani pemilih dan penyelenggara, bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kalangan petugas, sehingga berdampak pada kualitas demokrasi.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dengan putusan ini, MK memberikan tafsir bersyarat (conditionally constitutional) terhadap Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017, serta Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015
Secara ringkas, format pemilu ke depan akan dipisahkan menjadi dua fase:
1. Pemilu Serentak Nasional: Memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD.
2. Pemilu Serentak Daerah: Memilih kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dan anggota DPRD.
Kedua fase pemungutan suara ini harus diselenggarakan dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan.
Kontroversi Kewenangan MK
Meskipun bertujuan meringankan beban teknis penyelenggaraan pemilu, putusan ini memicu perdebatan di kalangan akademisi hukum tata negara. MK dinilai telah melampaui fungsinya sebagai negative legislator (membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD) dan justru bertindak sebagai positive legislator (menciptakan norma baru).
Kritik juga datang dari perspektif agama dan konstitusi (Fiqh Siyasah Dusturiyah), di mana putusan tersebut perlu diuji secara kritis agar tidak menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar daripada manfaat (maslahat) yang dituju. Putusan ini harus berlandaskan pada keadilan substantif (al-'adl) dan kemaslahatan publik, bukan semata-mata alasan administratif.
Putusan MK ini bersifat final dan mengikat, sehingga pembentuk undang-undang wajib segera melakukan revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada agar selaras dengan tafsir konstitusional baru tersebut. Perubahan ini menandai arah baru konsolidasi demokrasi di Indonesia.