Seperti juga Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuanagn (PDIP) Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau umumnya lebih dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri juga pernah mengalami kalah pilpres.
Bahkan, Megawati juga mengalami nasib yang sama dengan Prabowo, yakni kalah pilpres dua kali oleh 'lawan' yang sama. Lebih dari itu, Megawati dan Prabowo pernah kalah pilpres secara bersama-sama ketika berpasangan sebagai capres-cawapres pada Pilpres 2009.
Namun, apa yang terjadi ketika kekalahan kedua Megawati oleh SBY saat berpasangan dengan Prabowo pada Pemilu 2009 tidak sama dengan kejadian ketika Prabowo (diumumkan KPU) kalah yang kedua kalinya  juga oleh calon petahana (Jokowi) di Pemilu 2019.
Ketika itu, meskipun massa PDIP dikenal sebagai 'tukang demo', Megawati masih bisa mengontrol dan menjaga pendukungnya untuk tidak unjuk rasa turun ke jalan memprotes hasil pemilu. Padahal,  saat itu, pasangan Megawati-Prabowo  (dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto) sebagai pihak yang kalah juga menuduh Pemilu 2009 ada kecurangan.
Untuk memprotes kekalahan di Pilpres 2009, pasangan Megawati-Prabowo dan timsesnya  menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa ada unjuk rasa berlebihan, apalagi sampai berujung kerusuhan.
Megawati juga bisa memahami ketika MK yang pada saat itu diketuai Mahfud MD menolak gugatan sengketa Pilpres 2009 yang diajukan Megawati-Prabowo (dan JK-Wiranto) yang berarti menguatkan kemenangan  SBY-Boediono.
Berbeda ketika Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Uno pada Pemilu 2019. Meski pada akhirnya juga menempuh jalur konstitusional ke MK, Prabowo-Sandi dan BPN-nya sempat membuat pernyataan bahwa tidak akan mempersengketakan hasil pemilu ke MK dan menyerahkan hasil penghitungan suara oleh KPU kepada penilaian masyarakat.
Pernyataan yang seperti inilah (menurut saya) yang memicu para pendukungnya melakukan  unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu untuk memprotes hasil penghitungan suara pilpres dengan dalih memprotes ketidakadilan.
Apalagi, sejak awal kubu Prabowo  telah mengklaim kemenangan. Terkait tuduhan adanya kecurangan juga telah dinarasikan sedemikian rupa sehingga para pendukungnya yakin bahwa pasangan nomor 02-lah pemenang Pemilu 2019.
Jika pada akhirnya (konon) unjuk rasa itu disusupi pihak luar dan berujung kerusuhan, bagaimanapun nama Prabowo ikut tercoreng meski di mata pendukung fanatiknya Prabowo tetap disanjung dan dianggap sebagai presiden, apa pun keputusan KPU.
Kalau mau belajar dari kekalahan Megawati, termasuk kekalahan ketika bersama dirinya, Prabowo seharusnya bisa menjaga dan mengontrol pendukungnya untuk tidak melakukan unjuk rasa karena berpotensi disusupi pihak lain yang memanfaatkan keadaan untuk membuat kerusuhan.