Nyatanya aku tak bisa merubah takdir. Sekuat apapun aku memohon, jika takdir berpihak pada perpisahan, maka aku hanya bisa tertunduk. Seketika dunia ini terasa asing bagiku. Tak ada lagi yang bisa kupercaya. Satu-satunya orang yang kupercaya menitipkan hati dan harapanku telah meninggalkanku.
Aku tak tahu, ketukan palu hakim bukan saja meruntuhkan apa saja yang ada dalam diriku, tapi ternyata juga membuatku justru semakin tegar menghadapi kenyataan. Tangisku yang sedari tadi pecah kini berganti senyuman. Entah senyuman kepedihan mendalam atau senyuman kelegaan. Yang jelas, aku tersenyum.
Kuhampiri lelaki yang kini telah jadi mantan suamiku dengan begitu tenangnya. Aku sedang tidak berpura-pura kuat. Aku memang sedang kuat tiba-tiba.
"mungkin bagi kamu ini adalah akhir dari segalanya...tapi bagiku ini justru adalah awal..." ucapku lirih
Ia menatapku lekat seolah tak memahami apa yang kuucapkan.
"saat inilah awal dimulainya pembuktian, seberapa besar cintaku padamu...seberapa setianya aku padamu...seberapa kuatnya aku bertahan tak memberikan hatiku pada orang lain...seberapa sanggupnya aku menunggu kamu kembali padaku meski kamu sudah meninggalkan aku...sampai ku tutup usia..."
Aku berpaling darinya. Melangkah dengan pasti. Meninggalkannya yang terdiam membisu. Menyusuri koridor Pengadilan Agama yang menjadi tempat akhir baginya sekaligus awal bagiku. Tak ada lagi airmata. Tak ada lagi kerinduan. Tak ada lagi kenangan. Namun kupastikan akan selalu ada cinta untuknya. Hanya untuknya. Sampai waktu yang akan membuktikannya.
Sei Rampah, Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H