Kopi di hadapannya telah berangsur dingin. Tersapu angin. Malam ini begitu dingin menusuk rusuk. Joana membiarkan hatinya terluka. Pengkhianatan yang bertubi-tubi, dusta yang tak habis-habis dan kecewa yang begitu panjang. Joana masih bertahan.Â
Ia membiarkan hatinya terluka. Sementara belati itu telah menghujam dan menikamnya berulangkali, membabi buta. Joana tak bergeming. Ia tetap tak beranjak pergi. Joana membiarkan hatinya terluka.
Cinta yang selama ini senantiasa didoakan. Disebut dalam sepertiga malamnya. Cinta itu juga yang membuatnya nyaris mati. Cinta itu yang membutakan matanya. Dunia tak lagi indah. Ia hanya bertahan dan membiarkan hatinya terluka. Joana terus mendoakan cintanya. Hanya cintanya. Tapi cinta itu tak kunjung datang. Pun dalam doanya.
Sekian lama Joana menutup telinga. Penghakiman mereka yang tak pernah sebentar saja menjadi dirinya, membuatnya jengah. Mereka tak tahu, Joana punya cinta. Mereka tak peduli, Joana akan lebih menderita jika sendiri. Pengkhianatan, dusta dan kecewa bagi mereka adalah musuh, tapi bagi Joana adalah sahabat.
"aku tau dia tak pernah menghargaiku...tapi biarlah aku yang menghargainya..."
"aku tau dia tak menyayangiku...tapi biarlah cukup aku yang menyayanginya..."
"aku tau dia tak pernah peduli padaku...tapi biarlah aku yang mempedulikannya..."
"bangun Jo...sadar Jo...!!!" teriak mereka di telinga Joana
Joana tak bergeming. Ia tetap memilih membiarkan hatinya terluka.
Tak sedikitpun Joana memberi ruang untuk hatinya berpaling. Bahkan, ia tak mengizinkan jiwanya berontak. Hatinya kini beku. Joana tak lagi punya naluri untuk mencintai dan dicintai. Ia tak lagi percaya dengan apapun. Baginya membiarkan hatinya terluka adalah pemujaan yang sangat menyakitkan. Tapi ia masih memilihnya. Joana membiarkan hatinya terluka.
Joana tersenyum. Seseorang berjalan mendekatinya. Memeluknya dan seketika duduk di sampingnya. Ia mengacak-acak rambut Joana dengan tatapan kasih.
"kenapa kopi ini masih utuh, sayang ?" tanyanya saat melihat secangkir kopi penuh di hadapan Joana
"aku terlalu lama datang ya ?" tanyanya lagi
Joana menggeleng. Semua pertanyaan itu sudah cukup membuatnya lega dan bahagia. Joana tak pernah merasa dihargai seperti ini, sebelumnya.
"maaf ya...biasa lah jalanan padat..." ucap lelaki itu dengan mimik mengiba
Lagi-lagi Joana hanya tersenyum. Ia balas membelai pipi sang lelaki dengan lembut.
Lelaki itu sontak menggamit pinggang Joana dengan erat. Ia biarkan Joana menyandarkan diri di bahunya. Ia tahu, Joana sangat membutuhkan bahunya. Hanya bahunya. Dan ia tak mengharapkan lebih.
Joana menarik tangan lelaki itu dan membawanya pergi menembus malam. Angin malam tetap dingin. Tetap menusuk rusuk. Joana sadar lelaki itu takkan bisa menghangatkannya.Â
Ia juga sadar ini takkan membuatnya nyaman. Joana tak menyematkan predikat apapun pada lelaki itu. Hanya malam ini. Iya, mungkin hanya malam ini. Ia bukan cinta. Bukan sayang. Bukan apapun. Hanya lelaki dan Joana perempuan.
Joana tak berpaling. Joana juga tak berkhianat. Ia tetap memilih membiarkan hatinya terluka. Terluka dengan cara apapun.