Mohon tunggu...
Fiezu Himmah
Fiezu Himmah Mohon Tunggu... Penulis - Kadang di medium, kadang di Indonesiana, kadang nggak di mana-mana juga. Anak baru di sini.

-Dari, karena, dan untuk menulis aku hidup.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Ironi Ruang Aman bagi Jurnalis dalam Pentas Monolog Tirto

30 Desember 2023   12:18 Diperbarui: 30 Desember 2023   12:29 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto @extrajose_ dalam Instagram @happysalma

Masa-masa pengasingan yang dialami Tirto sebagai jurnalis era kolonialisme terungkap di panggung teater. Intimidasi dan kekerasan yang dialaminya menjadi refleksi bagaimana keamanan perlindungan jurnalis masa kini? Sejarah yang hampir kabur ini tidak hanya relevan, tetapi juga mencerminkan potret kekejaman yang masih terus berlangsung.

Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Titimangsa dan KawanKawan Media, baru saja menggelar pertunjukan Di Tepi Sejarah musim ketiga, yang dapat disaksikan secara langsung di Teater Salihara. Salah satu yang menarik perhatian yaitu Monolog “Tirto: Tiga Pengasingan”, berlangsung pada Rabu, 20 Desember 2023. Monolog tentang Tirto Adhi Soerjo ini ditulis oleh lbed S. Yuga, diperankan oleh Ari Sumitro, dan disutradarai oleh Putu Fajar Arcana. 

Iring-iringan kematian yang amat kecil membuka pertunjukan. Gesekan musik cello yang menemani tiga orang pengantar keranda, menciptakan awal yang menyayat. Mereka berjalan pelan dengan sorot mata yang sarat akan kehilangan mendalam. Adegan paralel juga memperlihatkan Tirto yang meringkuk kesakitan. Kisah "Tirto: Tiga Pengasingan" mengupas tiga babak kelam dalam perjalanan Bapak Pers Indonesia ini. Pertama, tahun 1910, pembuangan Tirto di Telukbetung karena tulisannya dituduh merendahkan Aspirant Controleur Purworejo, dan Wedana Cangkrep dengan kata-kata snot aap atau monyet ingusan. Kedua, tahun 1913, pengasingan di Ambon karena dituduh menghina Bupati Rembang, Adipati Djojodiningrat. Terakhir, tahun 1918, masa mendekati kematian tragisnya.

Penulis yang Berbahaya

Tirto ialah pionir yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda, dan pengaruh opini publik. Ia tidak hanya berani mengungkapkan kritik tajam terhadap pemerintahan kolonial Belanda, tetapi juga menjelma sebagai tokoh yang menentang ketidakadilan dengan penuh keberanian. Ia bahkan dinilai sebagai sosok yang berbahaya saat itu. Pada awal Desember 1918, Tirto menghembuskan nafas terakhirnya, dan baru diakui sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/TK/2006. Rangkaian kata dalam monolog ini menggambarkan betapa berani dan gigihnya Tirto dalam melawan, sekalipun tengah berada di pengasingan.

“Dan aku pun tak hanya menulis dan mengabarkan. Aku menolong mereka dengan bantuan hukum yang layak. Pengasingan ini tak boleh menghentikan amarah Ario Jipang dan Pangeran Sambernyowo dalam tubuhku,” begitu salah satu dialognya yang disampaikan Ari Sumitro dengan penuh membara. 

Pada 1 Januari 1907, Tirto mendirikan Medan Prijaji, sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang tidak hanya mengajak pembaca untuk menyuarakan masalah hak mereka, tetapi juga menjadi wadah aksi.  Tirto akan memberikan komentar untuk setiap surat yang masuk, dan menyiapkan pembela bagi mereka yang memiliki kasus hukum. Medan Prijaji tegas menyuarakan keadilan, tercatat menangani 225 kasus, dari penjual ikan pindang hingga sultan di luar Jawa-Madura.

Semangat Tirto dalam monolog ini memicu refleksi perihal tanggung jawab sosial jurnalis dalam memastikan, bahwa kebenaran tak hanya diungkap, tetapi juga dilindungi. Sikap independensi, keberanian, integritas, dan fokus pada misi memberikan informasi akurat menjadi ajaran berharga. Tirto mengilustrasikan peran krusial jurnalis sebagai agen perubahan sosial. Ia membuka ruang bagi suara-suara yang sering terpinggirkan dalam pemberitaan mainstream.

Pada era jurnalisme digital terkini yang kerap terlihat mengejar konten provokatif atau sensasional guna meraih klik, kisah Tirto justru menekankan urgensi yang berfokus pada substansi informasi. Meskipun popularitas berita dan jumlah tayangan adalah hal penting, kualitas dan dampak positif kabar yang disampaikan haruslah menjadi prioritas. Tirto melakukan kerja-kerja itu dengan hati nurani. 

Pengasingan yang Mengenaskan 

Monolog ini secara sengaja mengulas tiga masa pengasingan Tirto, yang tidak hanya mencakup pemaknaan harfiah sebagai tempat orang yang diasingkan atau mengasingkan orang. Pengasingan ketiga lebih merujuk pada dimensi simbolisasi.

“Pengasingan yang dialami Tirto ini dalam bentuk simbolisasi, bagaimana ia dijauhi orang-orang terdekatnya seperti sahabat, koleganya. Hidupnya berakhir tanpa ditemani kawan ataupun lawan,” begitu kira-kira ungkap Putu Fajar Arcana atau yang akrab disapa Bli Can, selaku sutradara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun