Jakarta, 19 Juli 2023 --- Di sepanjang jalan Kota Tua Jakarta, mata pengunjung akan mudah menemukan pelukis jalanan. Salah satunya adalah Eel, seniman yang sejak 2011 rutin melukis wajah di atas kanvas kecil. Eel tak hanya menghasilkan rupa, namun juga berupaya menangkap kisah di balik setiap wajah yang ia lukis. Baginya, melukis di Kota Tua bukan sekadar mencari nafkah, melainkan juga panggilan hati untuk menghadirkan cerita-cerita manusia.
Eel memulai proses belajarnya di awal 2000-an di Bali, kemudian mengasah kemampuan di Yogyakarta---kota yang dikenal sebagai rumah bagi para seniman---sebelum akhirnya memilih Kota Tua sebagai tempat berkreasi. "Melukis di sini bukan hanya soal mencari penghasilan. Setiap wajah itu punya cerita. Saya berusaha mengabadikannya lewat lukisan," ujarnya usai menyelesaikan sebuah potret. Suasana Kota Tua yang unik serta ragam manusia yang melintas di sana menjadi sumber inspirasi tak pernah habis bagi pria ini.
Eel menekankan, melukis wajah adalah proses yang lebih dari sekadar menggambar. Ia kerap mengobrol dengan orang yang akan dilukisnya agar dapat menangkap kepribadian dan cerita mereka. "Saya ingin orang yang melihat lukisan tidak hanya melihat wajah, tapi juga merasakan cerita di baliknya," tambahnya.
Selain Eel, Kota Tua juga menjadi rumah bagi sosok pelukis senior, Tendy, yang telah melukis di kawasan ini sejak 1990-an. Di mata komunitas seniman jalanan, Tendy dikenal sebagai penjaga semangat dan tradisi. Ia kerap menjadi rujukan bagi pelukis-pelukis muda berkat pengalaman panjangnya. Lukisan-lukisan Tendy didominasi potret kehidupan jalanan dan orang-orang Kota Tua. "Kadang penghasilan tidak menentu, tapi seni itu nafas kami. Kota Tua sudah seperti rumah kedua," jelasnya, menegaskan semangat kebersamaan di tengah tantangan.
Kehadiran pelukis-pelukis jalanan seperti Eel dan Tendy di Kota Tua Jakarta tidak hanya menghadirkan karya seni yang menarik, tetapi juga menciptakan pengalaman yang unik dan berkesan bagi para pengunjung. Setiap proses melukis yang berlangsung secara langsung di tengah keramaian menjadi momen yang tak terlupakan bagi banyak orang. Mereka bukan hanya menyaksikan sebuah lukisan lahir, tetapi juga merasakan kehangatan interaksi saat pelukis mengobrol dengan subjeknya.
Rani, salah seorang pengunjung, mengungkapkan bahwa hasil lukisan yang diterimanya sangat berbeda dari sekadar foto biasa. "Hasil lukisan saya sangat berbeda dari sekadar foto. Ada nuansa cerita dan kehangatan di sana, apalagi selama proses melukis saya sempat berbincang dengan pelukisnya," ujarnya. Kesempatan untuk berbincang dan mengenal sosok di balik karya menjadikan pengalaman tersebut jauh lebih personal dan bermakna.
Selain pengunjung lokal, wisatawan asing juga menunjukkan antusiasme yang tinggi. Jean, seorang wisatawan dari Kanada, bahkan merasa terpukau dengan proses melukis secara langsung yang ia saksikan di Kota Tua. "Di sini saya merasa benar-benar diterima. Lukisan ini akan saya bawa pulang sebagai kenangan manis dari Jakarta," kata Jean. Bagi para wisatawan, lukisan wajah yang dibuat para pelukis bukan sekadar benda seni, melainkan souvenir istimewa yang mengabadikan momen dan cerita perjalanan mereka di ibu kota.
Banyak pengunjung menganggap interaksi langsung dengan para pelukis memberikan dimensi baru pada seni jalanan. Mereka bisa melihat bagaimana ekspresi dan cerita seseorang tertangkap dalam sapuan kuas, sehingga tak jarang lukisan tersebut menjadi kenangan yang benar-benar membekas di hati. Pengalaman ini pun menambah daya tarik Kota Tua bukan hanya sebagai destinasi wisata sejarah, tetapi juga sebagai ruang seni yang hidup dan mengundang partisipasi masyarakat serta pengunjung dari berbagai latar belakang.
Komunitas Pelukis: Ruang Bertumbuh Bersama
Komunitas pelukis jalanan Kota Tua, mulai dari pelukis senior macam Tendy, kelompok muda seperti "Perupa Kota Tua" hingga "Komunitas Kreatif Kota Tua", terus tumbuh dalam semangat saling mendukung. Mereka terlibat aktif dalam berbagai pameran, baik secara langsung di lapangan maupun online, serta kerap berbagi ilmu teknik dan pengalaman. "Kami saling mendukung, berbagi teknik dan pengalaman. Seperti keluarga yang membantu satu sama lain," kata Eel.
Selain itu, mereka memanfaatkan media sosial untuk memamerkan karya dan memperluas jejaring, sehingga bisa tetap eksis di tengah tantangan ekonomi dan perubahan zaman.
Tak sekadar simfoni warna di atas kanvas, lukisan wajah Kota Tua kerap menjadi titik temu banyak pihak---warga lokal, pelancong, hingga kolektor seni. Melalui karya mereka, pelukis seperti Eel dan Tendy membantu memperlihatkan identitas serta kisah manusia di balik aktivitas sehari-hari. Setiap goresan kuas mampu menjembatani kesenjangan sosial dan menghadirkan pemahaman baru akan ragam karakter di Kota Tua.
Meski telah berkembang, seni jalanan di Kota Tua menghadapi sejumlah kendala, mulai dari regulasi yang belum jelas, persaingan dengan hiburan komersial, hingga fluktuasi minat pengunjung. Cuaca dan ketidakpastian penghasilan juga menjadi tantangan harian bagi para pelukis. Untuk tetap bertahan, mereka kian aktif menampilkan karya secara daring dan rutin berkolaborasi dalam beragam pameran.
Eel menaruh harapan pada dukungan pemerintah dan masyarakat agar seni jalanan dapat semakin terorganisir serta berkembang. "Kalau ada dukungan yang lebih baik dari pemerintah, kami bisa lebih maksimal menyebarkan pesan budaya. Seni jalanan bukan hanya untuk hari ini, tapi investasi bagi generasi mendatang," tegasnya.
Dengan semangat yang tinggi, Eel, Tendy, dan komunitas pelukis Kota Tua terus mengisi ruang kota dengan warna dan kisah manusia. Di setiap garis dan warna, tersimpan cerita-cerita yang memperkaya narasi urban Jakarta. Dukungan berbagai pihak akan membuat Kota Tua tetap menjadi ruang kreatif yang hidup dan memberi makna, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI