Perkembangan Teknologi Informasi Internet bukan semakin menurun. Diterima atau ditolak, internet ini akan semakin berkembang dan menjadi lahan baru yang diserang oleh banyak kalangan dan kepentingan.
Seiring dengan itu, akan semakin luas pula wilayah Indonesia yang tersedia akses terhadap internet, tentu semakin bertambah pula pengguna, anak-anak dan orang tua, ibu rumah tangga dan pekerja kantoran, penjual sayur dan pebisnis kelas tinggi.
Keadaan ini akan membawa perubahan dalam banyak aspek. Salah satu yang paling menonjol adalah pertukaran informasi yang begitu cepat dalam waktu yang relatif singkat.
Hal ini tidak boleh dilihat sebagai sebuah malapetaka. Harus disadari bahwa dari zaman ke zaman, peradaban manusia itu berubah karena kekayaan intelektual. Buah dari kekayaan intelektual itu, menghasilkan perkembangan dalam banyak bidang, dan salah satunya adalah teknologi informasi internet ini.
Teknologi informasi internet ini dapat disederhanakan dengan menyebut media-media sosial, situs berita, pengguna e-mail dan lain sebagainya seperti kita gunakan pada hari ini.
Terasa begitu banyak perkembangan yang boleh kita nikmati dari perkembangan teknologi internet ini. Pertemuan/rapat (meeting) atau konferensi sudah banyak yang berpindah ke dunia maya, diskusi, presentasi, konsultasi bahkan kegiatan-kegiatan pasar pun berpindah ke sana. Hadirnya toko online, munculnya online advertising, sistem perbankan, dan banyak lagi.
Namun, perkembangan-perkembangan dari sisi positif ini, diimbangi pula dengan perkembangan-perkembangan negatif. Perkembangan negatif ini kita sebut sebagai dampak negatif dari teknologi informasi internet.
Bentuk-bentuk kejahatan yang dulu hanya terjadi di dunia nyata, secara fisik dan langsung, kini berpindah ke internet yang dikenal dengan sangat populernya "dunia maya".
Sekarang, pencurian (penipuan, pemerasan, dll), mesum (sex chat, sex twit, sexcam,dll), pembunuhan (pembunuhan karakter dengan pencemaran nama baik, pembunuhan karir, dll), judi dan masih banyak lagi.
Jurnalisme Online
Sepuluh tahun terakhir, dampak dari semakin canggihnya teknologi internet ini, terlihat lebih spesifik dalam menjamur begitu banyaknya media-media informasi online. Yang dulunya kita hanya mendapatkan berita lewat radio, televisi, surat kabar, majalah dan lain-lain, kini kita menemukan itu semua di media online.
Aktivitas jurnalisme secara perlahan berpindah. Bahkan, sekarang ini, kantor-kantor berita secara perlahan berpindah ke dunia maya.
Pertemuan rutin tidak terjadi secara langsung lagi, tapi secara online melalui diskusi dan konferensi di dunia maya. Kantor fisik berfungsi sebagai kelengkapan administrasi dan syarat legalitas kelembagaan. Seluruh aktivitas yang lazimnya dilaksanakan dalam sebuah kantor, kini telah berpindah ke dunia maya.
UU ITE Tahun 2008
Di saat masyarakat sedang beradaptasi dengan teknologi baru ini, disadari pula bahwa perlu ada sebuah peraturan agar tidak terjadi penyalahgunaan, atau dengan kata lain agar ada prinsip kehati-hatian dalam menggunakan teknologi ini.
Tahun 2008, ditetapkanlah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dikenal menuai banyak kontroversi.
Ada yang mengatakan bahwa di dalamnya terdapat begitu banyak pasal karet. Ada juga yang mengatakan bahwa UU ITE ini mengemas begitu banyak diskriminasi yang tidak menghargai kebebasan, terutama kebebasan seperti dituangkan dalam UUD 1945, yakni kebebasan berekspresi dan berpendapat.Â
ejak tahun 2008 itu pula, sudah 74 kasus dijerat dengan UU ITE ini, seperti diberitakan oleh oleh Kompas di sini.
Sejalan dengan penerapan UU ITE ini, telah terjadi banyak kesalahan menurut pendapat publik dalam penerapannya. Adanya pasal-pasal karet, diselipkannya senjata-senjata tersembunyi melalui penjelasan yang tidak lengkap, dan dibangunannya pintu belakang (back door) bagi kaum elit yang punya kepentingan membuahkan keresahan bagi sebagian besar masyarakat.
Metrotv dalam program Mata Najwa, 25 Februari 2015 yang lalu, keresahan ini dibahas secara khusus, diawali dengan sebuah Catatan Najwa yang berbunyi seperti terlihat pada gambar berikut.

Baik untuk diketahui bahwa sebelum mengonstruksi aturan-aturan hukum nasional (UU ITE) secara detail, sudah ada perangkat huku Cyber Crime yang dihasilkan oleh negara-negara yang bergabung dalam G-8 dan dimuat dalam Communique pada tanggal 9-10 Desember 1997, terdiri dari 10 butir azas dan 10 agenda aksi dalam mengantisipasi tindak pidana dalam dunia siber.
Saya tidak mengutip dua hal itu di sini secara lengkap, namun inti dari azas dan agenda itu menggambarkan bahwa akan terjadi "penyalahgunaan". Ini kata kuncinya. Supaya penyalahgunaan tidak terjadi, perlu meninjau sistem hukum yang ada sekaligus perlu menyediakan informasi yang jelas secara lebih rinci tentang penggunaan yang baik.
Ternyata, untuk menghindari penyalahgunaan itu, UU ITE menggunakan kalimat-kalimat yang secara tegas mengatakan bahwa tidak semua orang punyak hak.
Rumusan perbuatan-perbuatan yang dilarang tidak berbicara tentang "penyalahgunaan" tapi memberi penegasan bahwa "tidak semua orang punya hak dalam menggunakan".
Penyalahgunaan dan pembatasan hak adalah dua hal yang sangat berbeda. Kata penyalahgunaan masih memberi ruang untuk kebebasan seperti dimaksud dalam UUD 1945.
Tapi, kata "tanpa hak" sesungguhnya telah merujuk pada pembatasan atau mencopot kebebasan. Selanjutnya, kata-kata "tanpa hak" tidak dijelaskan secara rinci. Muatan kata ini bisa sangat luas sekali, bisa pula sangat sempit. Bisa melar seperti karet, tergantung penafsiran.
Hal kedua yang bisa saya sebutkan di sini adalah khusus dalam pasal 27 ayat (3), tentang "pencemaran nama baik". Istilah ini yang dijadikan seperti sebuah teka-teki dan menjadi senjata pamungkas bagi mereka yang anti terhadap kritikan.
Dalam beberapa kasus yang dijerat dengan pasal ini, terlihat begitu jelas bahwa alasan utama penjatuhan hukuman adalah "kamu tidak punya hak untuk mengkritik saya" tapi "saya punya hak untuk berbuat semena-mena terhadap anda".
Ternyata, pasal yang menyebutkan soal "pencemaran nama baik ini" membatasi ruang gerak para jurnalis dan juga orang pribadi dalam menyampaikan pendapatnya. Ada kebebasan yang sudah dikebiri, ada diskriminasi  karena ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak boleh dikritik.
Revisi Sedang Dikerjakan
Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (Kemenkominfo) sedang mengerjakan revisi terhadap pasal-pasal UU ITE seperti dirilis oleh Kompas di sini. Namun, tidak disebutkan bahwa akan melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang dimaksudkan sebagai pasal karet di atas. Kelihatannya, revisi akan dilakukan pada pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi atau denda dengan alasan terlalu tinggi dan tidak terjangkau.
Menurut saya, walau bukan pakar hukum, saya melihat bahwa dua pasal yakni, pasal 310 ayat (1) KUHP dan pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan pasal karet yang tidak menyebutkan pembatasan atau larangan lebih rinci tentang "pencemaran nama baik".
Pasal ini sangat terbuka dan merupakan tempat empuk, arena bermain para pakar hukum. Terbukti bahwa dalam penerapan pasal-pasal ini telah menimbulkan keresahan bagi publik, terutama bagi pengguna internet dalam menyampaikan gagasan, pendapat dan kritik secara bertanggungjawab.
Revisi itu harusnya lebih ditujukan pada pasal-pasal larangan itu. Bila pembatasan-pembatasan itu sudah jelas dan dimengerti oleh semua orang, silahkan diatur besaran denda atas pelanggarannya. Lebih tinggi dari angka yang ditetapkan saat ini pun tidak masalah, yang penting, perintah dan larangan itu jelas dan rinci muatannya. Bukan hukuman atau sanksi berat yang menjamin ketaatan masyarakat pada suatu aturan, tapi informasi yang jelas dari sebuah perintah dan larangan. Informasi yang jelas ini akan memberi pemahaman. Dan dari pemahaman ini lahirlah sebuah pengertian dan ketaatan.
--------
Bahan Bacaan:
- Boele-Woelki, cs., "Internet: Which Court Decides? Which Law Applies?" (London: Kluwer Law International, 1998)
- Kenny Wiston, "The Internet: Issues of Jurisdictio and Controversies Surrounding Domanin Names" (Bandung: Aditya, 2002)
- Widyopramono Hadi Widjojo, "Cybercrimes dan Pencegahannya" (Jurnal Hukum dan Teknologi, Fakultas Hukum UI, 2005)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI