“Kami ini gigi. Kami diam. Tapi jangan salah, kami hafal segalanya.”
Kami ada di setiap senyuman. Setiap obrolan. Setiap kunyahan. Tapi, kami jarang dianggap. Kami hanya dicari saat kalian kesakitan, dan lebih lucunya lagi, kami justru paling dicari… saat kalian sudah tak bisa bicara lagi.
Iya, benar. Saat kalian sudah menjadi jenazah.
Gigi dan Klinik: Persahabatan yang Aneh
Di ruang praktik, kami sering dibersihkan dengan senyum paksa. Kadang ditambal dengan tergesa. Kadang dicabut tanpa perpisahan. Tapi kami tahu: para dokter gigi sedang berusaha. Kami menghargainya.
Yang kami heran, kenapa kalian tidak mencatat apa yang telah dilakukan kepada kami?
Ada tambalan di gigi 36, gigi tiruan di 14, jejak behel di 21 sampai 23. Tapi sering kali, semua itu hilang tanpa rekam. Padahal kami ingat. Kami simpan. Kami tahan bahkan ketika tubuh kalian tak lagi utuh.
Ketika Tragedi Datang, Kami Baru Dicari
Kami jarang dianggap di hari biasa. Tapi ketika kecelakaan datang, bencana menerpa, atau tragedi menghantam, kami berubah status: dari ‘tak penting’ menjadi satu-satunya harapan.
Dokter forensik mulai membuka mulut kalian, mencari kami. Menatap tambalan, bentuk akar, celah kecil yang dulu dianggap biasa.
Dan jika saat itu tak ada data kami sebelumnya (ante mortem), maka maaf... kami pun tak bisa bicara apa-apa. Karena kami kuat, tapi tak bisa berbohong.