Mohon tunggu...
Fery Farhati
Fery Farhati Mohon Tunggu... Lainnya - Parent Educator

Parent Educator | Full time mom | Happily married to Anies Baswedan, blessed with 4 wonderful children.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka dalam Aksi Hidup Baik

23 Agustus 2023   11:16 Diperbarui: 23 Agustus 2023   11:38 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Bahagia itu sederhana.  Memasuki bulan Agustus, rumah rumah di kampung kami mulai terlihat memasang Bendera Merah Putih. Suka ria menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, setiap tahun terasa di sudut-sudut kampung. Kala itu, di tahun 1945 kemerdekaan diupayakan dengan perjuangan bersama untuk meraihnya. Gotong royong kolosal, sumbang harta-curah pikiran, taruh nyawa--kobarkan asa, melepas kekasih-mendoakan ananda, semua memiliki jalannya untuk ikut ambil bagian meraih ultimate happiness... yang terangkum dalam satu kata, Merdeka!

Satu kata yang membangkitkan semangat, memberikan kekuatan dan menebarkan harapan. Sebuah kata yang kini menjadi amanah yang perlu kita jaga bersama sebagai penerus bangsa. Setiap kita memiliki cara sendiri untuk bisa terus berkontribusi dalam meneruskan perjuangan meraih kemerdekaan ini, salah satunya adalah melalui Aksi Hidup Baik, sebuah upaya untuk ikut ambil bagian dalam menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kita. Upaya meraih "kemerdekaan' dalam bentuk lain sesuai dengan masanya. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari stunting, merdeka dari ketergantungan pada pinjol (pinjaman on-line), merdeka dari demam berdarah, untuk meraih ultimate happiness bersama. 

Seperti juga dalam meraih kemerdekaan Indonesia, Gotong-royong menjadi salah satu semangat dalam menjalankan aksi hidup baik di masyarakat kita. Kemerdekaan menjadi tujuan dan gotong royong menjadi cara atau upaya dalam mengapai tujuan tersebut.

Pada zaman yang modern, dimana perkembangan digital terus melaju dan berbagai platform media sosial (medsos) ramai-ramai menggaet perhatian para penggunanya,  serta  tekanan memenuhi gaya hidup tertentu kian memupuk perasaan individualis, tentunya memberikan tantangan tersendiri dalam mempertahankan nilai gotong-royong ini. Apakah memang demikian? 

Eksistensi Gotong-Royong.  

Gotong-royong telah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Mengutip artikel pada laman Kominfo, dalam pidato Ir. Soekarno  pada tahun 1945 dihadapan peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), menyatakan bahwa "gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! ..." Itulah mengapa menurut Ir. Soekarno, inti dari Pancasila adalah gotong royong.

Melihat perkembangan saat ini dan menelisik beberapa tulisan, ada banyak keyakinan bahwa saat ini budaya gotong-royong telah pudar. Pandangan ini tidaklah benar. Pada kenyataannya, gotong-royong tidaklah pudar, tapi mengalami evolusi. Sebut saja Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang fokus pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan keluarga, hingga saat ini masih eksis dan berdampak baik pada masyarakat. Atau Karang Taruna yang masih ada bergerak di kampung-kampung yang fokus pada upaya pemberdayaan pemuda. Para pemuda pemudi yang berlomba mendaftar menjadi relawan dalam kegiatan kegiatan sosial masyarakat.  Juga spirit volunteerism (kerelawanan) yang menjamur tanpa komando pada saat kita memiliki musuh bersama; pandemi COVID 19. 

Nilai gotong-royong pada dasarnya masih ada dan kuat, hanya bentuk serta terminologinya saja yang menyesuaikan perkembangan zaman. Nilai Gotong-Royong yang sudah berakar kuat, kini menghasilkan pemuda-pemudi,  para generasi Milenial dan gen Z yang aktif  bergerak dalam komunitas-komunitas, aktif sebagai relawan, melakukan volunteerism dalam berbagai kegiatan sosial, kreatif, ataupun politik dengan  caranya sendiri yang menarik, kreatif, dan membanggakan.

Menjaga Marwah Kampung di tengah Kota.

Perkotaan kerap diasosiasikan dengan kehidupan gemerlap dan individualis. DKI Jakarta, sebagai melting pot  berbagai suku, budaya dan bangsa, menampakkan diri sebagai kota yang keras dan cenderung individualis, dimana semua berjuang demi keberlanjutan diri dan keluarganya. Tentunya ini cenderung melunturkan nilai-nilai budaya kampung yang guyub dan saling membantu antar anggotanya. Maka dari itu, kampung yang juga erat dengan budaya gotong-royong dan kerukunan perlu ditumbuhkembangkan di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun