Sekali lagi saya menekankan bahwa saya tidak mengecilkan dan menafikan pelecehan seksual terhadap perempuan terjadi di transportasi umum. Namun untuk dibilang 100% itu terjadi karena niat pelakunya dalam hal ini, pria, saya kok tidak setuju. Ada situasi-situasi yang terkadang tidak bisa dihindari dan kadang itu terlihat dan dianggap sebagai pelecehan seksual terhadap perempuan.
Kenyataannya, pelecehan juga terjadi terhadap pria oleh perempuan. Walaupun dengan konteks dan cara yang berbeda. Akan tetapi karena korban pelecehan seksual pria jarang sekali mengungkapkan hal itu ke publik, membuat hal ini tidak muncul kepermukaan. Apalagi, stereotip dominasi pria yang terjadi selama ini membuat masyarakat umumnya berpendapat bahwa pria tidak mungkin dilecehkan secara seksual oleh perempuan. Pandangan umum seperti inilah yang menyebabkan pria enggan melaporkan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh American Journal of Public Health, pada tahun 2014. Di Amerika Serikat ternyata jumlah laki-laki dan perempuan korban pelecehan seksual memiliki jumlah yang hampir sama; 1.267 juta laki-laki dan 1.270 perempuan mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual.Â
Mungkin pendekatan yang berbeda dilakukan ketika perempuan melakukan pelecehan terhadap pria. Seperti yang ditulis oleh penyintas pelecehan seksual pria, Josh Levs dalam majalah TIME. Atasannya itu selalu memancingnya untuk membahas hal-hal yang berbau seksual. Mulai dari memintanya agar mengajak kencan, lalu berhubungan seks.Â
Dari tulisan ini, kita bisa melihat bahwa memang telah terjadi pelecehan seksual dengan pendekatan yang berbeda, perempuan mungkin melakukannya dengan cara yang lebih halus dan ditempat lebih tertutup tidak di ruang publik, berbeda dengan pria yang terkadang memang ada yang melakukannya di ruang publik. Namun apapun itu, dan teknis pelakuannya seperti apa tetap saja itu pelecehan seksual.
Dengan kenyataan seperti itu sebenarnya sudah selayaknya ada perubahan mindset dari semua pihak terkait isu pelecehan seksual yang terkesan bias gender ini. Bahkan dalam hukum positif Indonesia, KUHP. Pria selalu menjadi subjek dan perempuan  selalu ditempatkan sebagai korban. Coba kita lihat dalam KUHP pasal 285 yang berbunyi:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Terlihat jelas perlakuan hukum negara kepada pria pun bias. Sementara kepada perempuan, tidak. Seperti tidak ada equality before the law, semua seolah memenangkan perempuan dalam urusan kekerasan seksual. Padahal kenyataan di lapangan banyak juga yang terjadi sebaliknnya.
Banyak pihak yang masih menganggap mustahil pelecehan seksual dilakukan oleh perempuan terhadap pria. Kalau memang  kalau dari awal yang diperjuangkan itu kesetaraan gender, hal ini seharusnya tidak terjadi.
Sumber:
bbc.com
beritagar.id
hipwee.com