Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bias Gender dalam Kasus Pelecehan Seksual dari Perspektif Pria

31 Juli 2019   13:08 Diperbarui: 31 Juli 2019   14:18 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesetaraan gender menurut definisi USAID ialah memberi kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk secara setara/sebanding/ sama menikmati hak-haknya sebagai manusia secara sosial beserta nilai-nilainya, secara ekonomi, memiliki kesempatan, dan sumberdaya yang sama dalam menikmati kue pembangunan.

Sementara keadilan gender masih menurut USAID ialah suatu proses menuju keadilan perlakuan terhadap perempuan maupun laki-laki. Untuk memastikan keadilan itu terjadi harus ada ukuran tertentu yang secara histori dan sosial memungkinkan keduanya berada di titik yang sama. Keadilan gender pada akhirnya bisa dipakai untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya.

Berkaca kepada dua frasa definisi di atas, rasanya konsep kesetaraan gender saat ini sudah semakin bias ketika orang-orang khususnya perempuan yang sudah tidak memposisikan diri sebagaimana mestinya, seperti yang dicita-citakan mereka di awal. 

Faktanya, saat ini justru sudah banyak yang tidak setara lagi. Dalam kasus pelecehan seksual misalnya. Kenapa dalam kasus pelecehan seksual semua pihak termasuk sebagian besar pria berpikir dan seolah menuduh pria lah sebagai pelaku tunggal perbuatan tersebut. Bukankah tuduhan seperti itu merupakan bagian dari bias gender? Apakah kesetaraan hanya berlaku apabila pihak perempuan akan diuntungkan?

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita lihat apa sih definisi dari pelecehan seksual itu. Pelecehan seksual ialah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau sik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung.

Saya menulis ini bukan karena ratapan atau ingin berkeluh kesah, namun lebih kepada pernyataan-pernyataan bias gender yang kerap terjadi saat ini membuat saya terusik. Jika memang kesetaraan gender merupakan cita-cita semua pihak, maka bias gender itu tidak boleh terjadi lagi dengan alasan apapun. Lain ceritanya kalau kita berbicara masalah dominasi gender.

Kembali ke masalah pelecehan seksual, baru-baru ini Koalisi  yang terdiri dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia. Merilis sebuah survey tentang pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik. 

Hasilnya menunjukan bahwa pelecehan itu terjadi karena "niat pelaku". Seperti yang diungkapkan  oleh Founder organisasi perEMPUan Rika Rosvianty "Pelecehan seksual ini murni terjadi 100 persen karena niat pelaku. Tidak ada korban yang "mengundang" untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual ini disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain," ungkapnya. Walaupun secara eksplisit  tidak menunjuk hidung secara langsung kepada pria sebagai "pelaku", rasanya tidak harus menjadi orang genius untuk membaca arahnya ke mana.

Saya tidak memungkiri bahwa memang pelecehan seksual di ruang publik memang terjadi dan lebih banyak diketahui oleh masyarakat luas, korbannya adalah perempuan. Namun terkadang kejadian yang dianggap pelecehan seksual itu terjadi bukan karena "niat pelaku". Seperti hasil riset yang dilakukan Koalisi ini. Di tranportasi umum misalnya, walaupun memang ada saja orang yang dari awal beniat melakukan itu tapi jumlahnya mungkin sangat kecil dibanding seluruh jumlah passenger pengguna angkutan umum. 

Secara pribadi saya adalah pengguna angkutan umum terutama Kereta Rel Listrik(KRL). Setiap hari harus mengalami kepadatan penumpang yang terkadang untuk bergerak pun sulit. Memang di setiap set gerbong terdapat 2 gerbong khusus perempuan namun karena animo masyarakat untuk memakai KRL sebagai sarana transportasiya begitu tinggi, pengguna KRL Jabodetabek, Cikarang dan Rangkasbitung rata-rata perhari kurang lebih 1 juta orang. 

Perempuan dan pria banyak bercampur di setiap gerbong, dengan kepadatan seperti itu suka atau tidak, disengaja atau tidak terkadang tubuh kita antara pria dan wanita harus menempel satu sama lain. Nah terkadang hal ini bagi beberapa orang perempuan dianggap sebagai pelecehan, walaupun mungkin ada yang intended untuk melakukan tapi jumlahnya sangat kecil sekali. Saya sendiri belum pernah kebetulan melihat secara langsung kejadian pelecehan seksual selama lebih dari 10 tahun naik KRL setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun