Sebagai gantinya, pemerintah menyita saham-saham BCA dari keluarga Salim untuk melunasi utang tersebut.
Meskipun BCA telah mencicil utang pokok Rp8 triliun dan bunga Rp8,3 triliun (dengan bunga 70 persen per tahun), sisa utangnya masih Rp23,99 triliun. Jumlah ini setara dengan 92,8 persen dari nilai saham BCA saat itu.
Pemerintah kemudian menginjeksi BCA dengan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) senilai Rp60 triliun untuk menyehatkan kembali bank.Â
Ditambah laba bersih BCA sekitar Rp4 triliun, total dana pemerintah yang masuk ke BCA mencapai Rp88 triliun.
Namun, pemerintah hanya menjual BCA seharga Rp10 triliun kepada Farallon. Menurut Kwik, penjualan ini menyebabkan negara rugi sebesar Rp78 triliun.
Utang Keluarga Salim dan Kontroversi Penilaian Aset
Kwik juga menyoroti utang Grup Salim di BCA senilai Rp52,7 triliun. Ketika pemerintah mengambil alih BCA, utang ini juga beralih menjadi utang kepada pemerintah.
Keluarga Salim melunasi utang tersebut dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), yang melibatkan uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan.
Ada perbedaan signifikan dalam penilaian aset-aset ini. Konsorsium Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers menilainya Rp51,9 triliun dengan asumsi "pandangan positif tentang masa depan ekonomi".Â
Sementara itu, Price Waterhouse Coopers (PwC) menilainya hanya Rp20 triliun, dengan asumsi "harus dijual dalam waktu singkat" dan kondisi ekonomi yang tidak ideal.
Meskipun ada perbedaan penilaian, pemerintah akhirnya hanya menerima Rp20 triliun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, yang berarti hanya sekitar 34 persen dari total utang berhasil dipulihkan.
Pada tahun 2002, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri menjual 51 persen saham BCA melalui tender publik.Â