BPS dalam publikasinya tersebut, membuat indeks kebahagiaan berdasarkan Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.
Terakhir sebelum SPTK 2021, survei dilakukan pada tahun 2017. Pada tahun 2021, tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia diukur dari tiga dimensi, yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
Indeks kebahagiaan dilihat keterbandingan antar waktu, dari 2017 dan 2021. Target sampel pada survei pengukuran tingkat kebahagiaan tahun ini sebesar 75.000 dengan level estimasi provinsi.Â
Respon rate pada tahun ini sebesar 99,5% atau 74.684 responden. Hasil indeks pada tahun 2021 ini memiliki keterbandingan dengan tahun 2017, namun tidak dapat dibandingkan dengan tahun 2014, karena memiliki nilai kontribusi yang berbeda antar indikator. Â
Pengukuran ini mengidentifikasi tingkat kebahagiaan sebagai sebuah ukuran subjektif terhadap kondisi objektif berbagai domain kehidupan manusia.Â
Dengan demikian, pada setiap domain kehidupan yang esensial tersebut akan diukur kondisi faktualnya secara objektif kemudian diikuti oleh ukuran subjektif berupa penilaian tingkat kepuasan terkait kondisi objektif pada aspek kehidupan tersebut
Selanjutnya, dimensi perasaan dan makna hidup diperoleh dengan didasarkan pada ukuran subjektif.
Akhirnya, tingkat kebahagiaan merupakan gambaran umum tingkat kepuasan penduduk terhadap keseluruhan domain kehidupan manusia yang dianggap esensial dengan memperhitungkan pula aspek perasaan dan makna hidup seseorang.Â
Kerangka kerja ini dibangun dengan turut memasukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sebagai determinan yang turut memengaruhi kebahagian penduduk.
Secara konsep dan metodelogi hasil survei indeks kebahagiaan 2021 versi BPS ini memang tak diragukan lagi validitasnya.
Namun pertanyaan lanjutannya, sejauh mana kita bisa menerima angka indeks kebahagiaan itu merefleksikan kondisi riil di kehidupan nyata