Kita bisa merasakan bagaimana ketatnya PSBB ini disaat-saat awal pandemi Covid-19 Â merebak di Indonesia hingga awal 2021.
Efek positifnya, penularan Covid-19 bisa ditekan dan terkendali dengan baik. Tetapi dari sisi ekonomi, masyarakat dan pemerintah berdarah-darah.
Bantuan sosial harus digelontorkan pemerintah, berbagai subsidi dan stimulus diberikan yang artinya menggerus cukup dalam APBN Â tak kurang dari Rp. 700 triliun dikucurkan oleh pemerintah pada 2020 untuk menanggulangi dan mengurangi dampak ekonomi akibat penanganan pandemi Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II 2020 saat PSBB dilaksanakan anjlok cukup dalam hingga minus 5,32 persen.
Nah, salah satu upaya menurunkan laju penurunan pertumbuhan ekonomi sambil tetap bisa mengendalikan jumlah penularan virus corona seri terbaru ini kemudian lahirlah istilah PPKM.
Keputusan tersebut diambil oleh pemerintah seperti dilansir sejumlah sumber bacaan, setelah Covid-19 dianggap berhasil dikendalikan.
Melalui Instruksi  Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2021 kepada seluruh kepala daerah di Jawa dan Bali. PPKM menyasar pada pembatasan kegiatan masyarakat secara terbatas berbasis pada kota dan kabupaten. Penerapannya dimungkinkan hingga tingkat komunitas terkecil seperti RT/RW.
Kriteria dalam penetapannya antara lain, tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional sebesar 3 persen. Kemudian tingkat kesembuhan di bawah nasional sebesar 82 persen.
Selanjutnya, kasus aktif harus di bawah kasus aktif nasional sebesar 14 persen, dan keterisian RS untuk tempat tidur isolasi dan ICU di atas 70 persen.Â
Namun, sayangnya dalam pengaplikasiannya di lapangan, PPKM dianggap oleh para epidemolog dan pemerhati kesehatan tak cukup memadai dalam mencegah penularan Covid-19.
Terlebih lagi, selain ketegasan pemerintah yang kurang, masyarakat pun cenderung abai terhadap protokol kesehatan.