Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Poros Partai Islam yang Digagas PPP dan PKS, Bakal Mengeraskan Politik Identitas?

3 Mei 2021   11:42 Diperbarui: 3 Mei 2021   12:10 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana tentang pembentukan poros Islam pada Pemilu 2024 mengemuka setelah 2 partai Islam PKS dan PPP bertemu, mereka bersepakat untuk membangun aliansi politik berdasarkan kesamaan basis teologis yang dimiliki kedua partai tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh Sekjen PKS Aboe Bakar Al Habsy sesaat setelah kedua Parti Politik berbasis Islam itu bertemu.

"Penjajakan-penjajakan ini masih ada 2,5 tahun atau 3 tahun, eh 2,5 tahun. Sangat memungkinkan [bentuk koalisi parpol Islam]," kata Aboe seperti dilansir CNNIndonesia.com pada Rabu (14/04/21).

Wacana ini bisa jadi menguat lantaran terdapat 3 faktor yang melatarinya, faktor teologis, sosiologis, dan historis.

Faktor Teologis, dalam pandangan ini agama merupakan suatu yang integrated, yang bersatu tak terpisahkan dengan politik. Islam adalah din wa daulah. 

Berdasarkan ini maka masalah kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah negara atau politik, merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan agama. Sebagai manifestasi dari pandangan ini adalah perlunya kekuasaan politik. 

Kekuasaan ini diperlukan dalam upaya untuk menerapkan syariat Islam, hukum-hukum Islam, baik perdata maupun pidana. Dalam rangka itu maka diperlukan partai politik untuk memperjuangkan dan menegakkan syariat Islam.

Dengan demikian, wacana pembentukan poros Islam ini yang memiliki tujuan besar memenangkan pemilu merupakan panggilan dan perwujudan dari pandangan teologis tentang hubungan agama dan negara.

Faktor Sosiologis, mengingat umat Islam di Indonesia merupakan agama mayoritas, dari 270 juta penduduk Indonesia 90 persen diantaranya beragama Islam.

Dengan jumlah yang mayoritas tersebut sudah sepantasnya poros berdasarkan kesamaan teologis, Islam dibentuk.  Dalam pandangan mereka secara sosiologis umat Islam akan merasa nyaman jika menyalurkan aspirasi politiknya melalui aliansi partai politik Islam yang kuat.

Kemudian, ada faktor historis, Dalam sejarah di Indonesia Islam merupakan suatu kekuatan yang sangat berperan dalam perlawanan menentang penjajah. 

Islam pada masa itu merupakan salah satu garda terdepan dalam mengusir penjajahan. Jadi kenapa tidak di masa kini Islam kembali menjadi yang terdepan dalam membangun bangsa dan negara ini.

Namun, faktanya partai politik Islam di Indonesia sejak jaman orde reformasi yang relatif bebas berdemokrasi tak pernah ada satu pun Partai Politik berbasis Islam yang berhasil memenangi pemilu.

Tahun 1999, setahun setelah reformasi terjadi PDIP meraup 34 persen suara yang membawanya menjadi partai pemenang pemilu.

Pada Pemilu 2004.Golkar berhasil meraih tahta pemenang pemilu dengan raihan suara sebesar 22 persen.

Kemudian Partai Demokrat berhasil menggusur Golkar sebagai pemenang Pemilu 2009 dengan suara yang berhasil diraih sebesar 25 persen.

PDIP kembali berhasil menduduki puncak klasemen peraih suara terbanyak dalam Pemilu berikutnya, raihan suaranya pada Pemilu 2014 dengan angka 18,5 persen suara pemiih.

Pada tahun Pemilu 2019, kembali posisi pemenang Pemilu diduduki PDIP dengan suara yang mereka peroleh sebesar 19,33 persen.

Lantas dimana posisi partai Islam pada 4 pemilu terakhir?

Pada Pemilu 1999 dari 17 Partai Politik Islam yang saat itu bermunculan bak jamur di musim penghujan menurut data yang saya olah dari Biro Pusat Statistik (BPS), hanya PPP yang masuk ke dalam 5 besar dengan raihan suara sebanyak 10,72 persen.

Sedangkan 2 Partai Islam yang lain hanya memperoleh raihan suara di bawah 2 persen, PBB 1,94 persen, Partai Keadilan 1,35 persen, sisanya hanya mampu menangguk suara di bawah 1 persen.

Dari ke 17 partai Islam yang ikut Pemilu, hanya PPP (58 kursi) dan PBB (13 kursi) yang lolos electoral threshold. Sedangkan yang lainnya, yaitu sebanyak 15 partai Islam tidak lolos electoral threshold.

Sementara partai yang berbasiskan massa Islam yaitu PKB dan PAN masing-masing memperoleh suara 12,6 dan 7,1 persen.

Pada Pemilu 2004, Partai Islam kembali harus gigit jari, perolehan suaranya menurun cukup curam. 5 Partai Islam yang berpartisipasi dalam pemilu tahun itu, PPP hanya mampu meraih 8,15 persen suara, diikuti oleh PKS dengan dukungan suara 7,34 persen, PBB 2,62 persen suara, PBR 2,44 persen suara, dan PPNUI hanya meraih 0,79 persen suara.

Pada Pemilu 2009 ada 6 partai politik Islam yang berpartisipasi, yakni PKS, PMB, PPP, PBB, PBR, dan PKNU. Hanya 2 partai yang lolos ambang batas perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yaitu PKS dengan perolehan suara sebanyak 7,89 persen dan PPP dengan raihan 5,33 persen suara.

Selebihnya, hanya sebatas figuran saja, memperoleh suara di bawah 2 persen.

Pun demikian dalam Pemilu 2014 Hanya PKS dan PPP yang lolos Parliamentary Electoral threshold, PBB hanya mampu meraih 1,49 persen suara. Sementara PKS memperoleh 6,77 persen suara dan PPP meraih 6,53 persen suara.

Padahal pada Pemilu 2014 menurut peneliti lembaga politik SMRC Djayadi Hanan  isu politik identitas sudah benar-benar secara telanjang dipraktikan oleh partai Islam terutama PKS.

Isu politik identitas memang secara terbuka baru bermula pada pemilu 2014 ini, saat Pemilihan Presiden, Jokowi bersama PDIP-nya  harus bertarung head to head dengan Prabowo dengan Gerindra-nya dan di dukung oleh PKS, PAN dan beberapa partai lainnya.

Menurut Djayadi, sentimen politik identitas Islam gaungnya hanya berlaku pada Pilpres tapi tidak pada Pemilu Legislatif, buktinya perolehan suara PKS dan PPP segitu-gitu aja, berada ditataran medioker.

Di Pemilu tahun 2019 yang baru lalu partai politik Islam pun tak bisa berbuat banyak mereka tetap saja tak mampu melepaskan diri dari klasemen medioker.

PKS perolehan suaranya memang naik, menjadi 8,21 persen, tetapi PPP menurun drastis nyaris tak lolos ambang batas, dengan perolehan suara 0,52 persen diatas Parliamentary threshold yang sebesar 4 persen.

Padahal politik identitas Islam dijual lebih jor-joran lagi pada pemilu tahun 2019 ini, bahkan residu dari politik identitas yang membelah masyarakat Indonesia masih terasa hingga saat ini.

Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan terkait wacana pembentukan poros Islam pada Pemilu 2024, apalagi yang memelopori pembentukan poros ini adalah PKS yang dikenal memang gemar memainkan politik identitas Islam.

Salah satu yang mengkhawatirkan pembentukan koalisi poros partai Islam, bakal mengekalkan politik identitas yang ujungnya membelah bangsa ini secara ideologis adalah PAN.

Menurut Ketua Umumnya, Zulkifli Hasan, PAN menganggap koalisi partai Islam justru akan menjadi kontraproduktif dengan upaya rekonsiliasi nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

"Dalam satu dua hari ini, saya menyimak munculnya wacana pembentukan koalisi partai Islam untuk pemilu tahun 2024. Saya menilai wacana ini justru kontraproduktif dengan upaya kita melakukan rekonsiliasi nasional, memperkuat dan memperkokoh persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa dan negara," kata Zulhas.

Sebenarnya, jika berkaca pada perjalanan sejarah, untuk meraih suara umat Islam tak harus juga membuat koalisi partai yang berisikan partai-partai politik berbasis Islam yang akhirnya sangat berpotensi memecah belah bangsa dengan politik identitasnya.

Faktanya dari tahun ke tahun politik identitas Islam terus dijajakan sehingga menguat, tapi tetap saja suara partai Islam cenderung stagnan atau bisa jadi terus menurun seperti yang terjadi pada PPP.

Kita harus sadar di kalangan umat Islam telah terjadi perubahan ideologis di mana mereka lebih melihat substansi Islam daripada formalisme Islam dalam bentuk koalisi partai Islam seperti yang diwacanakan oleh PKS dan PPP.

Meskipun belakangan memang, formalisme Islam dalam kehidupan sehari-hari termasuk politik kerap di dengungkan terutama oleh PKS dan sejumlah organisasi massa berbasis Islam yang sehaluan dengannya, tetapi faktanya masih lebih banyak yang melihat Islam secara substansial.

Toh formalisme Islam yang harus diwujudkan dengan cara memegang tampuk kekuasaan politik dirasa tak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat Islam kebanyakan, karena dalam menjalankan syariat dan ibadah umat Islam di Indonesia selama ini cukup mendapatkan kemudahan, bahkan difasilitasi oleh negara.

Makanya wacana mereka yang menginginkan formalisme Islam seperti PKS, kerap menggambarkan bahwa umat Islam di Indonesia didzalami, padahal faktanya sama sekali jauh dari narasi yang dibangun oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun