Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Jokowi Lebih Memilih Kata "Ekstremisme" Dibanding "Radikalisme" dalam PP 7/2021 REN PA?

22 Januari 2021   11:35 Diperbarui: 22 Januari 2021   11:48 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ektremisme yang Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme ( PP RAN PE) yang dirilis oleh pemerintah 6 Januari 2021 menuai polemik.

Sebagian pihak menyebut aturan baru tersebut dapat menimbulkan konflik horizontal antar warga masyarakat.

Padahal pemerintah  lewat aturan ini sepertinya ingin meminimalisir agar penyebaran paham-paham yang mengarah pada extremisme ini tak meracuni masyarakat secara masif, agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi aman dan nyaman.

Terlepas dari polemik itu, satu hal yang menarik buat saya adalah pilihan kata dalam PP RAN PE ini, kenapa menggunakan kata "Extremisme bukan Radikalisme" yang saat ini lebih populer, padahal jika kita baca aturan baru ini, uraiannya tentang extremisme ini serupa dengan hal-hal yang selama ini dikenal dengan radikalisme.

Selidik punya selidik ternyata istilah radikalisme yang kita pahami selama ini ternyata memang mengalami peyorasi dan cenderung salah kaprah.

Akar kata Radikal, menurut The Concise Oxford berasal dari bahasa latin "Radix, Radicis" yang berarti mengakar, sumber, atau awal mula.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara umum pemahaman masyarakat tentang radikalisme seperti yang kerap dimuat berbagai media arus utama atau media sosial adalah sikap keras dalam aliran atau paham  yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis dan untuk mencapainya cenderung menggunakan kekerasan.

Dan Radikalisme itu difahami sebagai ekspresi kultus keagamaan yang berakar pada alienisasi dan dislokasi sosial di tengah laju modernisasi. Dengan kata lain radikalisme itu merupakan gejala patologi keagamaan.

Menurut Jurnal Ilmiah yang di tulis oleh DR Alex.P. Schmid bertajuk Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review", 2014.

Radikalisme jauh lebih tidak bermasalah bagi masyarakat demokratis dibandingkan extremisme. Radikal bisa bersifat reformis dan tanpa kekerasan. Radikalis sejati cenderung lebih pragmatis dan terbuka terhadap penalaran kritis.

Sementara dari sudut pandang agama, menurut mantan Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Sifuddin. Memahami dan mengamalkan suatu agama itu memang harus radikal yang berarti mendalam dan mengakar dalam diri.

Dalam konteks agama Islam akarnya yang harus dipegang dalam berucap dan bertindak adalah berpegang pada al-Quran dan Hadist.

Dengan demikian, dalam konteks keberagamaan, radikalisme sebetulnya bukan sesuatu yang harus dicegah karena semua agama memang pada dasarnya mengajarkan setiap pemeluknya untuk memegang agama secara mengakar dan mendalam.

Disinilah peyorasi makna terjadi di Indonesia. Jika kepercayaan bahwa kitab suci seseorang bebas dari kesalahan merupakan ciri utama radikalisme, maka semua muslim adalah penganut faham radikalisme. Karena dalam pandangan seorang Muslim, al-Quran sama sekali bebas dari kesalahan; al-Quran adalah firman Tuhan.

Untuk itu, jika istilah radikalisme dikaitkan dengan orang-orang yang menganggap bahwa kitab suci mereka tidak mengandung kesalahan, adalah pendefenisian yang keliru.

Lantas bagaimana dengan kata" Extremisme" seperti yang digunakan dalam PP/7/ 2020 REN PA oleh pemerintah Jokowi.

Menurut Merriam-Webster Dictionary, Ekstremisme secara harfiah artinya kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem atau pandangan ekstrem.

Dalam konteks saat ini istilah ekstremisme banyak digunakan dalam esensi politik dan agama yang merujuk pada ideologi yang dianggap oleh mereka yang mematuhi konsensus sosial berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya.

Nah, jika merujuk pada pada kelompok yang memiliki pandangan yang menganut paham ekstrem yang gemar menggunakan kekerasan  bisa dikategorikan ekstrimisme, mereka ini memiliki ciri pemikirannya cenderung tertutup, anti toleransi, anti demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara termasuk intimidasi, kekerasan dan penipuan untuk mencapai tujuannya.

Kelompok ekstremis seperti Inilah yang memang disasar pemerintah Jokowi dalam aturan REN PA itu. Mungkin pemerintah Jokowi telah melakukan identifikasi permasalah mendasar dalam memahami isu Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme.

Karena meskipun bagaimana  dan itu fakta yang tak dapat dipungkiri meskipun dalam sudut pandang agama menjadi radikal itu sebuah keharusan tapi jika pemahaman agamanya dilakukan secara kaku tanpa wawasan yang mencukupi, berpotensi dan memiliki kapabilitas untuk menciptakan kohesi dan konflik sosial sekaligus. 

Seperti yang terjadi pada kelompok yang dianggap memiliki pikiran "radikal" berjubah agama. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), pandangan radikal yang kaku tanpa penalaran merupakan pintu masuk untuk memiliki pendirian ekstrimisme yang ujungnya sangat berpotensi menjadi terorisme.

Jadi sejatinya pemerintah Jokowi dengan aturan REN PA itu mencoba mencegah agar pemikiran radikal itu tak berubah menjadi ekstremisme yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.

Mengenai ketakutan-ketakutan yang diungkapkan sebagian pihak, wajar saja saya kira. Karena sebagus apapun aturan itu pasti akan berimplikasi berbeda pada setiap kelompok masyarakat.

Sesuatu yang mustahil bisa menyenangkan semua pihak, asal memang niat pemerintah dalam membuat PP 7/2021  tentang REN PA ini sebesar-besarnya buat kepentingan rakyat Indonesia, bukan kepentingan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun