Dalam konteks agama Islam akarnya yang harus dipegang dalam berucap dan bertindak adalah berpegang pada al-Quran dan Hadist.
Dengan demikian, dalam konteks keberagamaan, radikalisme sebetulnya bukan sesuatu yang harus dicegah karena semua agama memang pada dasarnya mengajarkan setiap pemeluknya untuk memegang agama secara mengakar dan mendalam.
Disinilah peyorasi makna terjadi di Indonesia. Jika kepercayaan bahwa kitab suci seseorang bebas dari kesalahan merupakan ciri utama radikalisme, maka semua muslim adalah penganut faham radikalisme. Karena dalam pandangan seorang Muslim, al-Quran sama sekali bebas dari kesalahan; al-Quran adalah firman Tuhan.
Untuk itu, jika istilah radikalisme dikaitkan dengan orang-orang yang menganggap bahwa kitab suci mereka tidak mengandung kesalahan, adalah pendefenisian yang keliru.
Lantas bagaimana dengan kata" Extremisme" seperti yang digunakan dalam PP/7/ 2020 REN PA oleh pemerintah Jokowi.
Menurut Merriam-Webster Dictionary, Ekstremisme secara harfiah artinya kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem atau pandangan ekstrem.
Dalam konteks saat ini istilah ekstremisme banyak digunakan dalam esensi politik dan agama yang merujuk pada ideologi yang dianggap oleh mereka yang mematuhi konsensus sosial berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya.
Nah, jika merujuk pada pada kelompok yang memiliki pandangan yang menganut paham ekstrem yang gemar menggunakan kekerasan  bisa dikategorikan ekstrimisme, mereka ini memiliki ciri pemikirannya cenderung tertutup, anti toleransi, anti demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara termasuk intimidasi, kekerasan dan penipuan untuk mencapai tujuannya.
Kelompok ekstremis seperti Inilah yang memang disasar pemerintah Jokowi dalam aturan REN PA itu. Mungkin pemerintah Jokowi telah melakukan identifikasi permasalah mendasar dalam memahami isu Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme.
Karena meskipun bagaimana  dan itu fakta yang tak dapat dipungkiri meskipun dalam sudut pandang agama menjadi radikal itu sebuah keharusan tapi jika pemahaman agamanya dilakukan secara kaku tanpa wawasan yang mencukupi, berpotensi dan memiliki kapabilitas untuk menciptakan kohesi dan konflik sosial sekaligus.Â
Seperti yang terjadi pada kelompok yang dianggap memiliki pikiran "radikal" berjubah agama. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), pandangan radikal yang kaku tanpa penalaran merupakan pintu masuk untuk memiliki pendirian ekstrimisme yang ujungnya sangat berpotensi menjadi terorisme.