Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Seruan "Pembangkangan Sipil" karena UU Cipta Kerja

23 Oktober 2020   10:09 Diperbarui: 23 Oktober 2020   13:35 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai organisasi masyarakat sipil yang dimotori oleh para akademisi dari Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) dan salah satu media mainstream yang dikenal cukup vokal terhadap Pemerintah Jokowi, Tempo menyerukan "pembangkangan sipil" atau Civil Dissobedience, jika Presiden Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak jua membatalkan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

"Pembangkangan sipil atau apalah itu bentuknya itu bisa dipikirkan, tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini jangan dibiarkan begitu saja. Kalau tekanan publik kuat itu merupakan bagian dari partisipasi sipil," jelas salah satu Peneliti PUKAT Zainal Arifin Mochtar, Seperti dilansir JPPN.Com

Para penolak UU Ciptaker itu benar-benar yakin bahwa undang-undang itu dibuat tanpa prosedur yang seharusnya.

Dan isi UU tersebut, di mata mereka jika diberlakukan maka keburukan yang nyata akan menimpa rakyat Indonesia.

Di mata mereka, Pemerintah Jokowi serta DPR dalam menyusun serta mengesahkan UU Ciptaker ini tak memiliki niat baik. 

Pemerintah di mata mereka itu culas dan sangat berniat untuk menyengsarakan rakyatnya dalam hubungannya dengan UU Ciptaker ini.

Makanya mereka benar-benar eager untuk melakukan apapun mulai dari demonstrasi, mogok kerja, hingga pembangkangan sipil ini. 

Pertanyaannya kemudian, apakah memang benar sedemikian buruknya niat pemerintah dalam menyusun dan mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini?

Mungkin enggak sih, sebuah pemerintahan yang bentuknya seperti pemerintahan Indonesia saat ini memiliki niat untuk menyengsarakan rakyatnya?

Undang-undangnya saja belum diberlakukan bagaimana mungkin mereka itu sudah dapat memastikan bahwa aturan itu bakal berimplikasi buruk buat rakyat Indonesia.

Mereka ini sebenarnya mewakili rakyat yang mana? Karena tak semua juga yang menyatakan penolakannya terhadap UU yang baru disahkan itu.

Sadarkah mereka, seruan pembangkangan sipil ini bisa disalah artikan oleh masyarakat akar rumput yang kini tengah dalam situasi yang panas.

Bisa saja hal ini ditanggapi oleh masyarakat penolak UU Ciptaker sebagai seruan untuk melakukan social unrest yang akan berujung pada chaos.

Masyarakat di akar rumput sangat mungkin tak memiliki penalaran seperti penalaran mereka dalam memaknai kata pembangkangan sipil tersebut.

Belum lagi ada penyusup-penyusup politik yang akan menggoreng isu pembangkangan sipil ini sedemikian rupa, sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh sejumlah kalangan intelektual ini berbelok arah menjadi huru-hara.

Andai hal ini terjadi, apakah mereka dapat mempertanggungjawabkannya? Jangan-jangan nantinya mereka akan langsung cuci tangan seolah tak tahu menahu urusan ini.

Jika kemudian mereka ditangkap aparat hukum, sudah hampir dapat dipastikan mereka akan berujar, "Wah pemerintah Jokowi otoriter, kami kan hanya berpendapat."

Bersembunyi di balik berbagai UU tentang kebebasan berpendapat.

Sebenarnya mahluk apa sih pembangkangan sipil ini?

Menurut beberapa litelatur, istilah Pembangkangan sipil atau civil disobedience ini pertama kali dipergunakan oleh Henry David Thoreau dalam esainya yang ditulis pada tahun 1884.

Esai itu merupakan penjelasannya terkait penolakannya terhadap pajak yang dikenakan kepada rakyat Amerika untuk membiayai perang di Meksiko dan untuk memperluas praktik perbudakan melalui UU Perbudakan.

Namun dalam perjalanannya, definisi pembangkangan sipil yang lebih bisa diterima secara luas ditulis oleh Profesor filosofi Harvard University, John Rawls dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Teori Keadilan.

Menurut John, pembangkangan sipil ialah sebuah gerakan tanpa kekerasan yang dilakukan dengan hati-hati dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah.

Sementara menurut pengacara Hak Azasi Manusia Alghiffari Aqsa gerakan pembangkangan sipil yang dilakukan secara massal ini dilakukan secara teroganisir yang bisa jadi mampu melawan hukum atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Jika tindakan tersebut kemudian berimplikasi secara hukum maka mereka yang melakukannya harus bersedia menerima konsekuensinya, untuk menunjukan bahwa mereka memang setia terhadap supremasi hukum.

Jika memang mereka bersetia terhadap supremasi hukum, kenapa tidak mengajukan judicial review saja ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti yang diatur dalam UUD jika ada dispute masalah Undang-Undang.

Apabila berkaca pada penyataan mereka dalam acara Rosy di Kompas TV Kamis (22/10/20) semalam yang menghadirkan Bivitri Susanti, Haris Azhar, Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan, Profesor tata negara asal Unpad Bandung Prof Panca, Wartawan Tempo, dan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly.

Pihak Tempo dan para penyeru pembangkangan sipil  beralasan, mereka tak yakin dan menyangsikan MK akan mengabulkan judicial review yang mereka ajukan.

Haris Azhar menyebutkan bahwa MK itu sudah dikooptasi oleh penguasa dalam hal ini pemerintah Jokowi, kemudian Tempo menyoroti statistik bahwa selama 40 kali melakukan judicial review tak ada satu pun undang-undang itu dikabulkan untuk dibatalkan.

Bagi saya ini sangat membingungkan tentu saja, bagaimana bisa semua elemen dalam bernegara tak mereka percayai kecuali keyakinan mereka sendiri.

Lantas, bagaimana sih wujud dari pembangkangan sipil ini?

Implementasi dari wajah pembangkangan sipil ini bisa bermacam-macam, mulai dari aksi unjuk rasa yang tanpa henti dilakukan hingga tuntutannya dikabulkan, pemogokan kerja secara massal buruh dan mahasiswa mogok belajar, hingga menolak membayar pajak.

Jika hal itu dilakukan besar kemungkinan mereka yang melakukan pembangkangan sipil ini berhadapan dengan konsekuensi hukum di tempatnya masing-masing.

Katakanlah mereka mogok kerja hingga berbulan-bulan, tentu saja perusahaan tempat mereka bekerja berhak memberhentikannya karena pastinya ada pengikatan hukum dalam kontrak kerja mereka jika mereka dalam jangka waktu tertentu tak masuk kerja.

Demikian juga mahasiswa, bisa saja mereka di DO atau tak lulus karena nilainya tak mencukupi lantaran kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan menentukan juga nilai akhir tiap semesternya.

Tak membayar pajak, sangat bisa diseret ke pengadilan pajak, dan dihukum denda hingga kurungan.

Apalagi jika kemudian ada yang menyalah artikan atau sengaja menyalah artikan seruan pembangkangan sipil sehingga menimbulkan kerusuhan, hukum pidana bakal menanti mereka.

Seharusnya organisasi masyarakat sipil yang memiliki tingkat intelektualitas di atas masyarakat kebanyakan ini mendorong untuk menyatakan penolakannya pada UU Ciptaker ini melalui jalur konstitusional bukan malah menyerukan hal-hal yang berpotensi menambah menghancurkan negara ini.

Para penolak UU Ciptaker ini sepertinya berusaha memonopoli kebenaran, di luar mereka yang menolak itu salah dan tak layak untuk dipercayai dan ini aneh banget. Berteriak-berteriak menyebutkan pemerintah tidak adil tapi dirinya sendiri berlaku tidak adil.

Rakyat Indonesia ini tak hanya berisi yang buruh dan orang-orang yang menolak UU Ciptaker. Survey Indometer yang dirilis Jumat (16/10/20) bahkan menyebutkan bahwa 90,1 persen responden yang mengetahui UU Omnibus Law Cipta Kerja setuju dengan disahkannya UU ini.

Mungkin UU ini memang masih belum sempurna, apabila memang demikian cobalah bicara baik-baik, buka dialog dengan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.

Dialog di sini bukan berarti masing-masing memaksakan kehendak, agar kebenaran yang diusungnya diterima. Kompromi lah.

Jika kemudian tak juga menemukan titik kompromi, ajukan saja judicial review ke MK, siapkan materi gugatan yang matang dan komprehensif sehingga Hakim MK bisa mengabulkan gugatannya, jangan semuanya berdasarkan sakwa sangka.

Sekali lagi menyerukan pembangkangan sipil itu tak akan membawa kita ke mana-mana, dan ini sangat rawan disalahartikan oleh akar rumput dan diboncengi oleh para pihak yang ingin membuat Indonesia ini kacau balau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun