Kami para pekerja itu benar-benar tepaksa harus naik KRL karena kantor mengharuskan kami hadir secara fisik, transportasi yang paling efesien dan efektif dari rumah menuju kantor ya KRL itu.
Andai ada pilihan lain yang nyaris serupa saja mungkin kami akan memilih alat transportasi lain. Sepanjang yang saya saksikan setiap hari, penumpang KRL sudah berusaha patuh terhadap protokol kesehatan.
Aturan yang ditetapkan oleh KCJ seperti wajib memakai masker, memakai baju lengan panjang, dan menjaga jarak sudah berusaha dipatuhi.
Paling sulit dan acapkali terlanggar adalah menjaga jarak karena, ruangan di dalam gerbong ya terbatas sementara dalam perjalanan penumpang naik terus di setiap stasiun akibatnya menjadi berjubel, walau memang tak separah saat situasi sebelum pandemi Covid-19 terjadi.
Nah, apalagi jika kemudian Pemda dan Kemenhub mencabut layanan bus gratis diganti menjadi berbayar, awal pekan bakal menjadi mimpi buruk bagi para penumpang KRL.
Apakah pemerintah sudah tak memiliki anggaran yang cukup buat membiayai penanganan pandemi ini sehingga bus bantuan yang tadinya gratis menjadi bus berbayar.
Atau memang sedari awal sudah direncanakan bajwa bus bantuan itu menjadi semacam teaser saja untuk membuat trayek baru? Yang artinya ini hanya masalah bisnis saja.
Tak tahukan mereka bahwa pendapatan para pekerja dalam situasi pandemi seperti ini juga menurun?
Agak mengherankan juga sebenarnya, kebijakan ini diterapkan saat klaster-klaster baru Covid-19 di perkantoran bermunculan setelah 5 orang di Kantor pusat PLN, saat ini ramai kawasan SCBD disebut menjadi klaster baru lain.
Bukan tidak mungkin klaster-klaster baru perkantoran bakal terus bermunculan. Kami para pekerja seperti merasa dikorbankan pemerintah agar menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tanpa kejelasan perlindungan.
Kami para pekerja yang harus menggunakan transportasi umum semacam KRL menjadi seperti isian sandwich, digencet sana sini.