Dari sisi belanja pemerintah memproyeksikan anggaran naik sebesar Rp.106,3 triliun dibandingkan Prepres 54/2020 yang sebesar Rp. 2..613,8 triliun. Dalam  APBN 2020 Perubahan anggaran belanja naik menjadi sebesar Rp. 2.720,1 triliun.
Belanja negara sebesar itu, terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 1.954,4 triliun, sedangkan sisanya sebesar Rp. 760,7 triliun untuk dana transfer ke daerah termasuk di dalamnya dana desa.
Dalam kenaikan belanja tersebut, ada tambahan stimulus fiskal untuk mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi bagi UMKM berupa subsidi bunga sebesar Rp.34,2 triliun.
Selain itu terdapat pula kenaikan kompensasi bagi perusahaan BUMN yang memberikan subsidi dalam penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp.76,08 triliun .
Perusahaan BUMN tersebut adalah PT.PLN dan PT. Pertamina masing-masing sebesar Rp.45,32 triliun dan Rp.45.02 triliun.
Diskon tarif listrik yang tadinya hanya berlaku 3 bulan menjadi 6 bulan sebesar Rp.3,5 triliun. Bantuan sosial tunai dan sembako hingga Desember 2020 sebesar Rp.19,6 triliun.
Sedangkan untuk cadangan stimulus dianggarkan sebesar Rp. 60 triliun dan tambahan belanja sebesar Rp. 40,7 triliun.
Namun demikian, Kementerian Keuangan berhasil menghemat anggaran dari penghematan lanjutan dari anggaran Kementerian/Lembaga Negara sebesar Rp.50 triliun dan Rp.12,4 triliun dari belanja pegawai berupa THR dan gaji ke-13.
Lantas dari mana pemerintah menambal defisit yang menganga begitu lebar? Paling mungkin adalah dengan melakukan pembiayaan berupa menjual surat berharga negara.
Emisi Surat Berharga Negara ini sudah diatur dalam Perppu nomor 1 tahun 2020 yang belakangan ramai diperbincangkan.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh Sri Mulyani, "akan ada penambahan PMN sebesar Rp. 25,27 triliun dalam pemulihan ekonomi,"ujar Sri Mulyani.