Mohon tunggu...
Ferry Irawan suyitno
Ferry Irawan suyitno Mohon Tunggu... rakyat biasaa

penikmat kopi, rokok kretek, buku, senja dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

07 SEPTEMBER: Racun Di udara luka Di Sejarah HAM Indonesia

7 September 2025   19:53 Diperbarui: 7 September 2025   19:51 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ombudsman RI tahun 2021 bahkan menegaskan dokumen itu tak pernah ditemukan. Transparansi yang dijanjikan pemerintah tak kunjung tiba. Motif: Menghentikan Suara Kebenaran Munir adalah duri dalam daging bagi banyak penguasa. Ia kritis terhadap UU Intelijen, UU TNI, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ia vokal menuntut kontrol sipil atas militer. Amnesty International menyebut pembunuhan Munir bukanlah "kejahatan biasa", melainkan kejahatan luar biasa dengan indikasi keterlibatan petinggi negara. Dengan kata lain, Munir dibunuh bukan karena ia siapa, tapi karena ia berani bersuara. 

foto : munir. dibuatkan oleh AI CHAT GPT. DALAM bentuk gambar. 
foto : munir. dibuatkan oleh AI CHAT GPT. DALAM bentuk gambar. 

Reaksi Publik dan Dunia 

Di jalanan, di ruang sidang, di forum internasional---nama Munir terus digaungkan. Istrinya, Suciwati, bersama KontraS dan LSM HAM, tak pernah lelah menyalakan obor kebenaran. Amnesty, Human Rights Watch, hingga PBB berkali-kali menegaskan: kasus Munir bukan hanya urusan domestik, tapi wajah Indonesia di mata dunia. Setiap tahun, setiap aksi, setiap peringatan, suara yang sama terdengar: usut tuntas kasus Munir, jangan biarkan dalang intelektual bersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan. Hari ini, 07 September, adalah kalender yang berdarah. 

Hari ini, sejarah menuliskan nama Munir dengan tinta racun. Ia tak lagi duduk di kursi pesawat, tapi ia hidup dalam kursi nurani bangsa. Munir adalah nyala lilin yang dipadamkan di angkasa, namun cahayanya justru membelah kegelapan. Ia pergi, tapi setiap pekik keadilan adalah suaranya. Setiap aksi menolak penindasan adalah tapak kakinya. Indonesia boleh saja menunda kebenaran, tapi sejarah tidak akan pernah lupa. 

07 September adalah hari kelam, tapi juga hari lahirnya janji: bahwa suara pembela HAM tak akan pernah bisa dibunuh. Dua puluh satu tahun lebih sejak tragedi itu, kasus Munir masih menjadi pekerjaan rumah bangsa. Pemerintah berganti, janji-janji ditebar, tapi hasilnya tetap sama: gelap.

Komnas HAM masih bekerja, dunia masih menekan, publik masih menunggu. Munir pernah berkata, "Kebenaran itu tidak akan pernah mati." Hari ini, kita tahu, kebenaran itu memang masih hidup---meski tertatih, meski terus dilawan oleh mereka yang ingin menyembunyikannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun