Mohon tunggu...
Ferdi Bendar
Ferdi Bendar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa universitas Tadulako dengan program studi antropologi, hobi saya berolahraga bola voli dan suka bernyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mereview Antropologi Agama Program Studi Antropologi UNTAD

13 Desember 2023   19:49 Diperbarui: 13 Desember 2023   20:48 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Materi I : Dr. Rismawati, S.Sos, MA.

Antropologi Agama adalah bidang ilmu dalam studi antropologi yang mempelajari manusia, budaya, dan agama dalam kaitannya dengan bagaimana manusia menafsirkan makna agama dan menjalankan kehidupan keagamaannya dalam keseharian atau disebut juga Antropologi Religi. 

Antropologi religi masyarakat yang tidak punya adat tetapi percaya adanya makhluk gaib. Religi sistemnya mengingat antara manusia dengan hal gain antara adanya kekuasaan.

Sebagaimana dikemukakan bahwa objek studi antropologi agama adalah yaitu bagaimana pikiran, sikap, dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan yang gaib. Jadi, bukan kebenaran ideologi berdasarkan keyakinan dalam kepercayaan menurut ajaran agama itu masing-masing yang menjadi titik perhatian studi melainkan kenyataan yang nampak berlaku yang empiris.

Dalam mengkaji antropologi agama ada beberapa metode yang digunakan dalam menganalisis antropologi religi. Yaitu diantara :

1. Metode historis


Metode ini bersifat sejarah dengan maksud untuk menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang berlatar belakang sejarah yaitu sejarah perkembangan budaya agama sejak Manusia masih sederhana budayanya sampai budaya agamanya yang sudah maju.

2. Metode normatif

Yaitu metode yang mempelajari norma-norma, kaidah-kaidah, patokan-patokan dan sastra suci agama. Maupun yang merupakan perilaku ada kebiasan yang tradisional yang tetap berlaku baik dalam hubungan manusia dan alam gaib maupun dalam hubungan antar manusia yang bersumber dan berdasarkan ajaran agama masing-masing.

3. Metode deskriptif

Metode ini ialah berusaha mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan tentang buah pikiran, sikap tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang implisit.

4. Metode empiris

Metode ini mempelajari pikiran, sikap dan perilaku agama manusia yang diketemukan dari pengalaman dan kenyataan di lapangan artinya yang berlaku sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dengan menitikberatkan perhatian terhadap kasus-kasus kejadian tertentu ( metode kasus).

Materi II : Yulianti Bakari, S.Sos, MA.

 Mengenal Suku Dayak

Orang Dayak, Siapa Mereka?

Ada litani tanpa ujung tentang orang Dayak. Litani itu, se- bagian memuji, tetapi kebanyakan melecehkan. David Jenkins dan Guy Sacerdoty yang menulis dalam Far Eastern Economic Review (1978) menggambarkan orang Dayak sebagai the legen- dary wild man of Borneo (Manusia liar Borneo yang legen- daris). Sementara Jan Ave dan Victor King (1985) melukiskan mereka sebagai The people of the weaving forest (Orang dari hutan yang meratap). Ada pula yang menggambarkan mereka sebagai The headhunters of Borneo (Pemburu kepala dari Bor- neo).

Pada masa sebelum merdeka, Dayak merupakan kata ejeken yang memilukan hati. Ketika seseorang menyimpang dari nor- ma-norma yang umum norma Islam dan penjajahan Belanda disebut sebagai "dayak". Ikan dan belacan busuk di toko disebut dayak. Anjing kurus dan kurap di jalanan juga disebut da- yak. Dayak, berarti kotor, kafir, tidak tahu aturan, buas, liar, gila, terkebelakang, tidak berbudaya. Dayak adalah orang liar Borneo yang berekor. Yang ini ada benarnya, karena lelaki Dayak-konon berekor di depan, tentu saja bukan di belakang.

Litani bernada minor demikian, tidak bisa dihapuskan oleh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pandangan salah tentang manusia Dayak yang tertancap selama ratusan tahun pada masa kolonial, diperkuat oleh pusat-pusat kekuasaan feo- dal telah tertanam kukuh. Dan racun itu masih ada pengaruh- nya hingga saat ini.

Dalam diskurus pembangunan dan modernisasi dewasa ini mereka lebih dikenal sebagai peladang berpindah, suku ter- asing, perambah hutan, orang tidak berbudaya, suku pengembara, orang terkebelakang, dan seabreg predikat lainnya. Oleh karena itu mereka harus dimukimkan. Pola pertanian mereka harus diubah. Budaya mereka harus dihilangkan. Maka perampasan tanah-tanah Dayak atas nama Republik dan Pembangunan Nasional, atas nama modernisasi dan pertumbuhan ekonomi dianggap sah. Begitu pula eksploitasi hak-hak intelektual Masyarakat Adat (indigenous people) oleh para intelektual modern kita, dianggap wajar. Mereka cukup senang ketika ada penelitian ilmiah tentang mereka. Itu dikatakan seorang profesor doktor dalam sebuah seminar internasional di Jakarta beberapa tahun silam. Orang kecil dan lemah selalu berkorban, dan yang kuat menikmatinya.

Masyarakat Dayak adalah masyarakat lisan. Oleh karena itu tradisi lisan memainkan peranan sentral dalam tatanan hidup bermasyarakat. Tradisi lisan, kata Waiko (1981), adalah lan- dasan kesadaran diri dan otonomi sebuah suku bangsa ketika mereka berhubungan dengan dunia luar. Jika Waiko benar ma- ka lewat kesadaran itu suku bangsa Dayak menemukan dan mengidentifikasi diri. Maka ia kemudian menjadi salah satu dari identitas kolektif sebuah masyarakat. Sejalan dengan itu, King dan Ave menyebut tradisi lisan sebagai media bagi orang Dayak untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kehi- dupan dan maknanya, tentang kematian dan realitas kehidupan setelah kematian.

Tradisi lisan bagi suku bangsa dayak adalah sebuah teks li- san yang memuat totalitas konsepsi-konsepsi dasar ideologi, dogma, doktrin, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, hukum dan kebiasaan serta nilai-niali sentral, tatanan dan struktur sosial, serta cara-cara berhubungan dengan alam nyata dan alam mistik. Di berbagai sub-suku Dayak ditemukan suatu konsepsi yang serupa mengenai hubungan antara manusia dan tanah dengan segala isinya. 

Tanah adalah suatu entitas yang integral Dalam konteks kesatuan sub-suku, tanah milik kesatuan hukum adat sering disebut sebagai Binua (Kanayaan), Manoa (Iban), Ba- nua (Simpang, Laur, Jeka, Laur, Krio, Lara, Bakati). Konsep kebenuaan, dengan demikian, adalah sebuah konsepsi geo-poli- tik. 

Tidak heran seorang pemuka adat Dayak Iban di Sarawak dengan tegas melukiskan, "The Dayak Concept on Menoa is equivalent to the concept of state of today". (konsep tentang banua bagi orang Dayak adalah ekuivalen dengan konsep ten- tang negara dewasa ini). Dalam batas banua terdapat tanah yang mengandung kekayaan sumber daya alam. Di dalam ba- nua terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk mene- gakkan aturan itu. Memang namanya bukan negara, state, atau etar, atau stat, tetapi banua, binua atau manoa.

Oleh karena itu, tanah bukan semata berfungsi ekonomis. Tetapi terlebih merupakan basis politik, sosial, budaya dan spiritual. Penataruangan banua juga sangat jelas, semacam landuse management. Saya menyebutnya sebagai sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated farming system). Di dalam SPAT ini sekurang-kurangnya terdapat tujuh komponen.

Menurut masyarakat Dayak, dunia dan segala isinya dicip- takan oleh Yang Maha Tinggi. Schärer (1963) dalam bukunya "Ngajuk Religion, the Conception of God Among a South Bor- neo Indigenous peoples" secara terus terang menyatakan, kon- sep ketuhanan pada masyarakat Dayak tidak dapat dipahami hanya melalui kehidupan empiris. Schärer seperti halnya Coo- mans, adalah salah seorang dari sejumput teolog Kristen yang mengakui adanya konsep ketuhanan pada suku bangsa Dayak.

Untuk mengetahui konsep-konsep ketuhanan itu, kata Schä- rer, seseorang harus menelaah sumber-sumber. Sumber yang dimaksud Schärer, tidak lain adalah tradisi lisan. Ia menggam- barkannya sebagai sacred literature (sastra suci). Sastra suci, menurut dia berbeda secara konseptual dan verbal dari yang bersifat profan. Teks-teks lisan itu dilukiskannya sebagai sacred historical truth and reality and contain the devine reve- lations which were manifested at the time at the first human being. They are sacred teaching which determine the whole life, from birth to death, according to the devine laws"

Orang Dayak Kenyah disebut Bunga Malam. Pada Dayak Kanayatn, dia disebut sebagai Daniang, dan menurut orang Simpang disebut sebagai Nek Duata. Orang Ngaju mengenal dua macam pencipta, masing-masing Yang di Atas dan Yang di Bawah. Yang di atas disebut Tingang dan Yang Di Bawah ada- lah Tambon (Naga). Dalam literatur lisan Ngajuk, keduanya lebih dikenal sebagai Mahatala dan Jata. (Lihat Kusni, "San- sana Tingang arungut Jata").

Dalam pada itu, tiap-tiap benda dan makhluk di bumi ini memiliki semangat (the living spirit). Dalam beberapa sub-su- ku, semangat ini disebut Jubata, atau Duata. Misalnya duata ta- nah, duata langit, duata batu, duata kayu, duata ikan, duata binatang. Oleh karena itu, benda-benda baik yang hidup mau- pun yang mati tidak boleh diperlakukan tidak senonoh. Jika melakukannya, pelakunya akan mendapat balasan yang setimpal.

Padi, adalah salah satu ciri penting dalam kehidupan sosial budaya suku bangsa Dayak. Upacara-upacara ritual sepanjang tahun pada dasarnya didasarkan pada siklus penanaman padi. Para ahli sosiologi memandang gejala ini karena suku bangsaDayak adalah masyarakat agraris. Bagi orang Dayak, pandang- an demikian sangat mengecilkan arti sosial budaya mereka. Pekerjaan menanam, memelihara dan menuai padi merupa- kan pusat aktivitas kehidupan dan interaksi sosial. Pada waktu bergotong royong mengerjakan ladang, pemuda-pemudi menu- tur pantun dan nyanyian. Orang-orang tua memberikan petun- juk tentang tradisi yang mesti dikuasai oleh generasi muda mereka.

Padi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan religius suku bangsa Dayak. Lingkaran tahun liturgis agama asli Suku Da- yak dimulai ketika pada saat musim menebas dan menebang untuk pembukaan ladang baru. Dalam tiap tahapan pekerjaan terdapat upacara-upacara ritual. Upacara itu berpuncak setelah masa panen selesai.

Dalam upacara-upacara ritual, padi disamakan dengan ma- nusia. Mereka memiliki samangat smangir (the living spirits). Samangat smangir itu harus dirawat dan dihormati supaya me- reka betah untuk tinggal bersama manusia. Anggota suku yang selalu mendapat banyak padi dalam berladang dianggap samp- badi (orang beriman, taat dan taqwa).

Pesta-pesta adat pasca panen (Naik Dango pada suku Dayak Kanayatan, Gawai Dayak di Kalbar dan Sarawak, Pesta Kaamatan di Sabah) adalah puncak pesta-pesta ritual yang berhubungan dengan siklus perladangan. Pesta itu adalah wujud nya- ta rasa syukur dan ungkapan harapan untuk mendapatkan hasil yang berlimpah pada tahun mendatang.

Materi III : Muh. Zainuddin Raddolahi, S.Sos. M.SI

Membahas antropologi agama kita tidak terlepas dari 3 perkara ini yaitu SDA, manusia, dan culture. Yang dimana ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. sistem kepercayaan itu terbentuk karena adanya sesuatu yang dianggap taboo, mitos dan lainnya sehingga hasil dari itu semua akan menghasilkan beberapa aspek seperti artefak, peninggalan benda-benda, dan simbol. 

Dari 3 aspek diatas maka menghasilkan beberapa kepercayaan karena masyarakat mengganggap bahwa sesuatu artefak atau peninggalan dari zaman dulu memiliki kekuatan mistik atau gaib yang bisa membuat mereka bisa lebih dari manusia lainnya.

Kemudian ada yang dikenal dengan sebutan ritual. Ritual dilakukan dengan berbagai macam Perspektif tergantung dari siapa yang melakukan ritual tersebut. Ritual dilakukan dikarenakan masyarakat menganggap ada sesuatu kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang menurut mereka mempunyai kekuatan gaib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun