Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dialektika dan Perkembangannya: Dari Socrates hingga Hegel

14 Desember 2023   22:01 Diperbarui: 14 Desember 2023   22:02 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dialektika dekat dengan kata dialog. Akan tetapi, tidak semua bentuk dialog atau percakapan merupakan dialektika. Hanya percakapan dialogis dengan aturan tertentu yang bisa disebut sebagai dialektika. Dialektika dalam KBBI didefinisikan sebagai hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara menyelidiki suatu masalah.

Dialektika dalam sejarahnya pada masa Socrates (470-399 SM) sering dilawankan dengan retorika. Metode dialektika menjadi metode yang digunakan Socrates untuk melawan retorika para kaum sofis. Socrates yang tampil sebagai sosok filsuf yang selalu mengaku bahwa ia tidak tahu apa-apa, di jalanan Athena ia mengajak orang-orang berdialog dengan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun orang tersebut untuk mencapai pengetahuan dan kebenarannya sendiri.

Hanya dengan dialektika orang akan mencapai pengetahuan dan kebenaran yang sebenarnya. Retorika kaum sofis hanya memberikan kebenaran semu (tak lebih dari sekedar penampakan pengetahuan). Hal ini dikarenakan retorika digunakan oleh kaum sofis untuk meyakinkan orang-orang bahwa apa yang disampaikannya atau argumennya adalah kebenaran. Bukan berfokus pada kebenaran itu sendiri, tapi berfokus pada meyakinkan orang lain. Jadi, tidak peduli apakah kebenaran yang disampaikan adalah kebenaran itu sendiri atau tidak, yang terpenting adalah orang lain dapat yakin bahwa itu adalah sebuah kebenaran. Kepentingan lain seperti emosi dan nafsu uang turut terlibat dalam proses retorika semacam ini.

Socrates: Dialektika sebagai Bidan yang Membantu Melahirkan Bayi Pengetahuan

Pada masa Socrates, dialektika tampil seolah sebagai bidan yang membantu melahirkan bayi pengetahuan. Melalui dialektika, Socrates membantu orang-orang untuk melahirkan bayi pengetahuan dari rahim pikirannya. Bayi pengetahuan ini sebenarnya sudah dikandung oleh mitra berbicara di dalam dirinya sendiri. Pada masa Socrates ini, dapat dikatakan dialektika merupakan proses mencari pengetahuan melalui dialog (tanya-jawab).

Dalam metode dialektikanya, Socrates selalu tampil sebagai orang yang hobi memberikan pertanyaan kepada mitra bicaranya. Socrates selalu menolak untuk menjadi pihak penjawab. Hal ini karena ketetapan prinsipnya bahwa ia tidak mengetahui apa pun.


Dalam Dialektika Socrates terdapat peran jelas antara si A sebagai penanya dan si B sebagai penjawab. Si Penanya mesti berusaha menolak tesis (pernyataan) yang diajukan Si Penjawab (B) sedangkan si B mesti berusaha untuk mempertahankan tesisnya. Pada permulaan, si A sebagai penanya akan mengajukan hal-hal untuk disepakati. Apabila si B menyetujuinya, maka hal-hal yang sudah disepakati tadi akan menjadi premis-premis yang digunakan oleh si A untuk menolak tesis si B.

Dengan demikian, si A hanya bisa menolak tesis si B berdasarkan premis-premis yang disepakati. Apabila berdasarkan premis-premis tersebut kemudian ditarik sebuah kesimpulan di mana kesimpulan itu menyangkal tesis B, maka dengan sendirinya tesis B terbantah dan harus mengakui kekalahannya. Mengapa? Karena si B sudah menyetujui tahapan yang menjadi proses penolakan tesisnya, yakni pada permulaan ketika menyepakati usulan si A yang menjadi premis bersama. Contoh gambaran mudah dan singkat percakapan dialektika ala Socrates seperti berikut. (percakapan ini tidak bersumber dari buku mana pun, semata-mata hanya karangan penulis)

A (Penanya)    : "Aku ingin mengajukan satu hal. Apakah kamu setuju bahwa cinta itu melibatkan ketulusan."

B (Penjawab)  : "Tentu. Aku setuju dengan hal itu. Cinta mestinya tulus."

A                     : "Oke. Menurutmu apa bentuk dari ketulusan itu?"

B                     : "Aku pikir ketulusan itu adalah saat ketika kita mau memberikan apa pun untuk yang kita cintai. Singkatnya, asal dia bahagia, aku juga akan bahagia."

A                     : "Baik. Sekarang, misalkan orang yang kamu cintai lebih memilih orang lain, bagaimana perasaanmu?"

B                     : "Wah! Pasti sakit! Kecewa bukan main! Aku sudah melakukan segalanya agar dia bahagia."

A                     : "Loh, katanya tadi asal dia bahagia, kamu juga akan bahagia. Ini dia kan juga bahagia (meskipun dengan orang lain). Kenapa kamu tidak bahagia? Kenapa kamu malah kecewa? Bukankah artinya kamu tidak tulus? Dan artinya selama ini kamu tidak benar-benar mencintainya?"

B                     : "Bentar, aku kira ada benarnya apa yang kamu katakan."

Si A mula-mula mengajukan satu hal untuk disepakati. Dalam contoh ini adalah cinta itu melibatkan ketulusan. B menyepakati hal ini. Artinya, cinta melibatkan ketulusan menjadi premis yang nantinya digunakan si A untuk menolak tesis si B. Si B memberikan tesis bahwa ketulusan itu melakukan apa pun asal yang dicintai bahagia yang intinya ketika ia bahagia, maka aku juga bahagia. Dengan premis awal yang sudah disepakati, si A menyangkal tesis si B hingga menyebabkan si B meragukan sendiri apakah dengan definisi ketulusan yang ia berikan sudah cukup mendefinisikan apa itu cinta.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam metode dialektika Socrates ini tidak semua percakapan harus berujung pada penemuan kebenaran. Hal ini dikarenakan dalam pencarian kebenaran jangan sampai ada pemaksaan. Biarkan orang berproses mencapai kebenarannya sendiri. Kita hanya menuntun dan memberinya sebuah pemantik untuk menyalakan api kebenaran dalam diri mitra bicara.

Plato: Dialektika sebagai Pengetahuan Tertinggi 

Dialektika pada Plato (428-348 SM) berbeda dengan gurunya, Socrates. Di tangan Plato, dialektika mendapat promosi sebagai pengetahuan tertinggi. Objek dialektika adalah forma inteligibel yang menjadi tataran pengetahuan tertinggi menurut Plato. Seorang yang berdialektika diharapkan dapat menangkap forma inteligibel tertinggi yakni idea kebaikan.

Dalam dialektika Plato, proses pengetahuan naik secara dialektis melalui empat tahapan. Tahap pertama adalah pengetahuan yang hanya sebatas dugaan (bayang-bayang benda indrawi). Tahap kedua adalah ketika melihat objek riil benda indrawi. Pada tahap kedua ini pengetahuan ini baru sebatas kepercayaan. Tahap pertama dan kedua ini masuk dalam wilayah sensibel, yakni yang bisa diakses oleh panca indra. Selanjutnya, tahap tiga adalah tahap rasio diskursif analitis yang melibatkan data-data yang dapat dianalisis (realitas matematis). Tahap keempat adalah rasio intuitif yakni forma inteligibel itu sendiri atau idea . Tahap ketiga dan keempat ini masuk dalam wilayah inteligibel yang artinya dapat dipikirkan. Bagi Plato, realitas matematis pada tahap ketiga bukanlah realitas sebenarnya. Ia hanya bayangan pucat dari idea. Dengan demikian, bagi Plato realitas sesungguhnya adalah Idea itu sendiri yang menjadi asal mula pengetahuan yang sejati.

Empat tahapan ini digambarkan oleh Plato melalui alegori gua. Dalam alegori gua, diterangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang selama hidupnya terikat dan menghadap dinding gua. Mereka tidak dapat menoleh ke kanan ataupun ke kiri. Ketika ada api menyala dari belakang mereka, mereka melihat bayangan orang lalu lalang di dinding gua di hadapan mereka. Mereka menganggap inilah realitas sesungguhnya. Hal ini karena selama hidupnya mereka hanya melihat bayang-bayang itu. Suatu ketika salah seorang terlepas ikatannya dan memanjat tebing dan keluar dari gua. Ia menyaksikan cahaya matahari yang sangat terang dan sekelilingnya. Ia pun tahu bahwa selama ini bayang-bayang yang dianggapnya realitas yang sebenarnya tidaklah benar. Ia pun kembali ke gua dan memberi tahu teman-temannya. Akan tetapi, teman-temannya justru ingin membunuhnya karena ia dianggap berbohong.

Tahap pertama adalah bayang-bayang yang disaksikan orang-orang di dalam gua tersebut dianggap realitas sebenarnya. Tahap kedua ketika melihat benda sebenarnya namun masih di dalam gua. Orang yang ikatannya terlepas melihat dari dalam gua bahwa di belakang mereka ada orang lalu lalang yang menyebabkan terbentuknya bayangan di dinding gua. Tahap ketiga ketika mulai berusaha keluar dari gua dan menyaksikan matahari yang menyilaukan serta realitas lain di sekelilingnya. Ia melihat pohon sebagaimana bentuknya, besarnya, dan tingginya. Lalu tahap keempat dialegorikan dengan Matahari (Kebaikan). Tahap keempat ini adalah idea yang merupakan asal mula pengetahuan itu. Ketika orang tadi berada pada tahap ketiga yang melihat pohon dari sebagaimana bentuknya, besarnya, dan tingginya sebenarnya tak lebih dari bayangan dari idea. Gambaran pohon sebagaimana adanya ini sebenarnya sudah ada dalam pikiran orang itu (idea).

Di tangan Plato dialektika sudah tidak lagi berbentuk percakapan sebagaimana pada dialektika Socrates. Dialektika pada Plato sudah tidak melibatkan percakapan dengan mitra bicara. Dialektika mulai berkembang dengan dipraktikkan sendirian oleh pikiran sang filsuf.

Aristoteles: Dialektika sebagai Penyaringan Opini

Dialektika Aristoteles (384-322 SM) sangat berbeda dari dialektika Plato. Aristoteles tidak menganggap dialektika sebagai pengetahuan (episteme) atau bahkan pengetahuan tertinggi sebagaimana Plato. Objek dialektika Aristoteles adalah opini-opini yang kurang lebih diikuti para filsuf sebelumnya atau kebanyakan orang.

Dapat dikatakan dialektika pada Aristoteles didefinisikan sebagai proses memeriksa dan menyaring opini-opini yang telah ada ketika membahas sesuatu. Dalam hal ini, Aristoteles hanya menekankan aspek logis pada dialektika tanpa dikaitkan dengan keutamaan. Dengan demikian, dialektika pada Aristoteles tidak berkaitan dengan moral apa pun. Aristoteles tidak menganggap bahwa dialektika dapat membuat mitra bicara menjadi lebih bermoral atau lebih berkeutamaan. Lalu, apa fungsi dialektika?

Bagi Aristoteles, fungsi dialektika yang pertama adalah untuk melatih otak agar tetap terjaga kewarasannya dalam berpikir. Kedua, dialektika mampu membuat orang untuk memeriksa opini orang lain, menunjukkan letak kesalahannya sehingga opini tersebut harus ditanggalkan. Ketiga, dialektika membuat orang memiliki pengetahuan filosofis, artinya mampu membedakan mana benar mana salah. Keempat, dialektika membantu sains yakni dengan memeriksa opini-opini yang beredar terkait sains itu sendiri.

Contohnya adalah pada pencarian prinsip-prinsip pertama atau sebab-sebab pertama. Dalam hal ini Aristoteles mengemukakan 4 causa (sebab) yakni causa materialis, causa efficiens, causa formalis, causa finalis. Contoh dari causa ini misalkan kayu. Causa materialisnya adalah kayu sebagai bahan. Causa efficiensnya adalah tukang kayu yang mengerjakan bahan kayu menjadi sesuatu yang lain. Causa formalisnya adalah bentuk meja kayu sebagaimana bentuk yang ada di dalam pikiran si tukang kayu. Causa finalisnya adalah meja kayu untuk tujuan X (fungsinya).

Meninjau para pendahulunya, Aristoteles menemukan kebanyakan dari mereka hanya sampai pada causa materialis. Thales misalnya menganggap prinsip segala sesuatu adalah air. Anaximenes menganggap udara sebagai prinsip segala sesuatu. Hippasos dan Herakleitos menganggap prinsip segala sesuatu adalah api. Empedokles menganggap air, api, udara, dan tanah sebagai prinsip segala sesuatu.

Opini-opini pendahulu tersebut artinya apa yang dianggap sebagai prinsip segala sesuatu di balik segala yang berubah adalah tetap. Tetapi, bila ada prinsip yang tetap, artinya segala perubahan hanyalah ilusi. Aristoteles mengkritik ini. Baginya, memang ada substansi yang tidak berubah, tetapi di sisi lain perubahan tetaplah ada (Aristoteles menyebutnya perubahan aksidental). Contohnya adalah meja kayu yang dibiarkan lama kelamaan akan teronggok dan menjadi kayu bakar. Setelah dibuang ke tungku api, sepenuhnya meja kayu berubah jadi abu. Terjadi perubahan aksidental dan substansial dan perubahan ini nyata ada.

Dalam kasus mencari sebab-sebab pertama tersebut, setelah meninjau para pendahulunya, menyaring opini mereka, ia mengajukan causa terpenting yakni causa finalis. Ketika Anda ingin membeli meja, maka yang paling penting adalah akan Anda gunakan untuk apa meja tersebut (misalkan untuk belajar). Maka hal ini akan berpengaruh pada tiga causa lainnya. Causa formalisnya yakni bentuk meja belajar, causa efficiensnya yakni tukangnya, dan causa materialisnya yakni dari bahan apa meja tersebut. Ketika causa finalis berubah menjadi meja untuk makan, maka akan berubah pula tiga causa lainnya.

Dialektika Stoik: Demi Keutamaan

Dialektika dalam filsafat stoik yakni pemeriksaan dialektis yang dilakukan filsuf dengan dirinya sendiri demi mencapai antaraxia (situasi tanpa gangguan emosi, ketenangan batin). Ilustrasi pemeriksaan dialektis ini digambarkan Zeno (tokoh filsafat stoik) dengan telapak tangan. Ketika telapak tangan terbuka adalah proses dimana jiwa memberikan gambaran (representasi) akan sesuatu. Kedua, ketika mengepal ditekuk jari-jarinya adalah proses peng-iya-an representasi yang dibuat oleh jiwa. Ketiga, saat tangan terkepal digenggam tangan satunya adalah tahap jiwa menemukan pengetahuan yang sesungguhnya.

Contoh ilustrasinya seperti ini. Ketika ada teman sakit lalu meninggal, maka jiwa membuat beberapa representasi terhadap keadaan tersebut. Representasi pertama, yang dapat membawa pada emosi seperti marah (misalkan dokternya salah dalam menangani) dan emosi sedih yang mendalam. Representasi kedua adalah melihat bahwa teman tersebut adalah makhluk hidup yang pasti akan mati sebagaimana kodrat alam bahwa segala yang hidup pasti akan mati. Selanjutnya, setelah dipilah-pilah, kita memilih representasi kedua yang memandang bahwa teman yang meninggal memang sudah takdirnya demikian sebagai makhluk hidup. Dengan demikian, sampailah kita pada antaraxia (situasi ketenangan tanpa gangguan).

Hegel: Dialektika sebagai Gerak Pikiran

Bagi Hegel (1770-1831) dialektika adalah gerak pikiran. Dialektika bagi Hegel menggambarkan arus berjalannya pikiran di mana pikiran berjalan terus menerus untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam hal ini, singkatnya adalah sebuah realitas/pengetahuan yang telah diafirmasi setelah direnungi oleh pikiran ternyata mengandung kontradiksi. Dengan timbulnya kontradiksi tersebut, maka afirmasi tersebut dinegasi. Setelah direnungi kembali, negasi tersebut pun masih dirasa kurang cukup. Pada momen inilah akan timbul realitas/pengetahuan baru. Demikian seterusnya. Siklus ini dikenal dengan istilah (meskipun sebenarnya istilah ini bukan berasal dari Hegel sendiri) Tesis-Antitesis-Sintesis/Anti Antitesis.

Dalam dialektika Hegel ini, suatu A dapat dikatakan sebagai A karena kesatuan antara A dan Non-A. Suatu A tentu dikatakan A karena identik dengan dirinya sendiri (A adalah A). Dengan mengatakan seperti ini, maka sekaligus kita juga mengatakan bahwa A bukanlah B,C,D (A bukan Non-A). Maka, A dapat dikenali karena ia adalah A (identik dengan dirinya sendiri) sekaligus karena A bukan B,C,D (A bukan Non-A). Hal ini menyatakan bahwa A merupakan gabungan antara identitas dan perbedaan. Gabungan ini disebut sebagai totalitas (keseluruhan).

Cara berpikir dialektis ini bisa dilihat ketika Hegel membicarakan tentang Tuhan. Bagi Hegel, Tuhan bukanlah Alam sebagaimana ungkapan Spinoza dan Tuhan juga bukan figur genius di balik semua ini yang dengan hukum-hukum pastinya mengatur segala sesuatu sebagaimana difantasikan kaum ilmuwan. Tuhan bukanlah sesuatu yang sama sekali asing di luar pikiran manusia. Kata Hegel : Tuhan adalah Roh Absolut, artinya esensi murni yang menjadi objek bagi dirinya sendiri, yang dengan begitu berarti hanya memiliki intuisi atas dirinya sendiri, dengan kata lain, sebuah esensi murni yang dalam menjadi lain dari dirinya Ia kembali secara murni dan sederhana dan sama dengan dirinya sendiri.

Tuhan dipahami Hegel sebagai Konsep yang berkembang. Pertama-tama, konsep ini menampakkan dirinya dalam kehidupan organis, Tuhan menegasikan kehidupannya untuk dapat dikenali melalui benda-benda material. Kedua, lewat berbagai level akhirnya kembali ke diri-Nya lagi. Mudahnya, kita mengenali Tuhan sebagai Tuhan Sang Pencipta (A adalah A) karena kita tahu ada ciptaannya yakni alam ini. Tuhan dapat dikenali karena Ia adalah Tuhan (A adalah A) yang tentu berbeda dalam segala yang material ini (A adalah Non-A). Dengan demikian, sekaligus menyatakan bahwa karena adanya alam ini yang bukan Tuhan (A adalah Non-A) kita dapat mengenali Tuhan. Tuhan sebagai Konsep yang berkembang pada mulanya menampakkan dirinya melalui agama alam (pemujaan pada benda organis). Pada tahap kedua, melalui agama seni (pemujaan terhadap patung, dan benda seni lainnya). Pada tahap ketiga, Tuhan membeberkan diri-Nya melalui agama wahyu. Manifestasi-Nya akan kembali pada diri-Nya sendiri.

Dalam dialektika Hegel, segala sesuatu itu bisa dikatakan benar apabila ia dipandang secara keseluruhan. Dalam proses dialektis, apa yang disangkal (dinegasi) tidak sepenuhnya disangkal dan dihancurkan. Penyangkalan hanya pada sisinya yang salah, sedangkan sisi yang benar tetap dipertahankan untuk diangkat ke kebenaran yang lebih tinggi. Singkatnya, dalam dialektika Hegel ini sebuah pernyataan pertama (tesis) disangkal (anti-tesis) sehingga akan muncul kebenaran yang lebih tinggi yang nantinya akan disangkal lagi (anti anti-tesis), begitu seterusnya.

Demikianlah dialektika menjadi roh filsafat sejak masa Socrates hingga Hegel. Melalui Socrates, dialektika menjadi proses mencari tahu melalui orang lain. Pada Plato, dialektika menjadi pengetahuan tertinggi di mana jiwa berusaha menuju idea kebaikan. Pada Aristoteles, dialektika menjadi sebuah kajian historis. Pada Hegel, dialektika merupakan gerak pikiran yang selalu me-negasi (menidak) yang akan menghasilkan konsep baru yang pada akhirnya akan dinegasi lagi, demikian seterusnya hingga mencapai kebenaran tertinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun