Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Money

Sebuah Ironi: (Wacana) Kenaikan Pajak, Pulihkan Ekonomi atau Penghambat Ekonomi?

15 Mei 2021   13:09 Diperbarui: 15 Mei 2021   13:15 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saya berpikir negara kita adalah berpaku pada paradigm Sosial Demokrasi secara Konstitusi, mengapa pendekatan demikian tidak dilakukan menyikapi krisis seperti ini. Justru tidak ada salahnya bukan? Bahkan, kemarin saya mendengar bahwa Amerika Serikat sendiri yang dikenal sangatlah Liberalis dan Kapitalis Murni apalagi Pemerintahannya dijalankan oleh Partai Demokrat yang sarat akan ideologis demikian membuat terobosan yang sangatlah mengagetkan. Presiden Joe Biden berencana melalui Menteri Keuangan-nya Janet Yellen untuk menaikkan pajak terhadap orang super kaya (ultra-rich) dengan kekayaan diatas 30 juta USD atau sekitar 500 Miliar Rupiah lebih atau yang berpendapatan sekitar 1 Juta USD per bulan dikenakan pajak yang sebelumnya sekitar range 20-25 persen kini ditarik sekitar diatas 45 persen. Pemerintah Joe Biden menilai bahwa kini saatnya Orang kaya atau super kaya harus berkontribusi untuk mewujudkan pemerataan membantu Negara membantu Rakyat untuk bisa survive dari segala krisis yang terjadi sekarang ini.

Apalagi masyarakat kelas menengah benar-benar sangatlah terdampak disamping pengangguran sangat meningkat sehingga kesempatan kerja sangatlah terbatas. Disisi lain tentu kas negara benar-benar terseok untuk stimulus terhadap masyarakat menengah dan kelas bawah demi meringankan beban mereka. Maka demikian perlu ada terobosan seperti ini tidak terkecuali di Indonesia, bahkan sangat relevan ditengah ketimpangan antara kenaikan jumlah orang super kaya dan juga masyarakat miskin baru. 

Seperti data dari Knight Frank London bahwa sudah ada 21.430 high net worth (berpendapatan 1 juta USD sebulan keatas) di Indonesia pada 2020 bahkan bisa naik ke angka 110 persen pada 2025 mendatang atau yang punya kekayaan 30 juta USD sudah mencapai 673 orang di 2020 dan akan naik 67 persen pada 2025 mendatang. Sedangkan ironisnya kemiskinan pun merangkak naik pula ditengah krisis ditandai 10.19 persen populasi per 2020 September ini dengan Ratio Gini 0,5 per 2015 menunjukkan pemerataan pendapatan belum sepenuhnya berjalan sempurna malah cenderung makin timpang bahkan lebih berat lagi menurut temuan dari European Journal of Political Economy bahwa hal ini mempengaruhi kualitas Demokrasi suatu negara utamanya Indonesia bahkan stabilitas sosial terlihat ketika kepentingan rakyat miskin cenderung diabaikan dan Negara cenderung bertumpu pada kepentingan diatas (oligarki bisnis) sehingga malah melanggengkan kesenjangan tersebut.

Jadi, sudah saatnya Pemerintah berbenah. Krisis ini bukan hanya Negara merasakan namun setiap aspek lapisan masyarakat. Sudah saatnya pula mengedepankan pendekatan Reformis untuk mau melihat pada sisi bawah yang selama ini tak tergerus. Dalam meningkatkan rasio pajak saja masih terlihat masalah soal kepatuhan utamanya WP besar yang selama ini terhambat kualitas SDM dan juga Teknologi. 

Saatnya pula Pemerintah memberikan ketegasan melalui setiap WP besar untuk sama-sama berkontribusi secara tertib dan anggaplah ini sebuah realisasi yang cukup optimis walau menjadi tantangan. Hal ini harus dijamin pula dengan kepastian hukum tentang tatakelola yang lebih berkeadilan. Disisi lain Pemerintah malah cenderung berat sebelah terhadap yang kecil namun malah terbuka dan takluk dengan kelas atas. Mindset ini harus diubah, sehingga pendistribusian kekayaan sesuai Ekonomi Pancasila harus berjalan. Yaitu rakyat diatas segala-galanya dengan mengedepankan Demokratisasi demi terciptanya pula rasa keadilan bagi semua, tidak lagi cenderung berat sebelah oleh karena kepentingan yang besar dan dirasa paling berjasa. Semua punya peranan yang tak kalah penting

Dimasa kini Digitalisasi juga menjadi potensi namun harus dibarengi dengan kesiapan kekuatan untuk memungutnya, sehingga benar-benar maksimal. Pajak Digital terutama untuk Startup atau Aplikasi selalu digembar-gemborkan selaku Basis Pajak Potensial seharusnya perlu pendekatan yang lebih maksimal dimana disisi lain Perkembangan Teknologi haruslah selalu didukung namun disisi lain perlu kontributif sehingga ada prinsip pemerataan itu sendiri, dan kurang lebih sangatlah konkrit dengan konteks masa kini yaitu membangun Ekonomi Digital yang membumi dari konsep lebih bawah seperti UMKM, jadi selain stimulus yang sifatnya modal pasti mereka juga harus diberdayakan untuk mampu berjalan sesuai prinsip New Normal. Bukannya tiap harga yang dijual malah dikenakan pajak tambahan melainkan harus dilakukan pembinaan agar mereka bisa menjadi pemain dalam Industri masa depan mendatang, tidak berpaku pada manufaktur raksasa apalagi yang sifatnya FDI atau mengandalkan modal asing yang selalu harus dimanja. Kita juga harus berdikari demi NKRI Harga Mati yaitu dengan mengedepankan relevansi pada ekonomi. Bukan sekedar cenderung lips service saja bahwa siapapun yang berperan dan berkontribusi terhadap ekonomi dikenakan pajak sebagai objek baru melainkan haruslah dipahami semua melalui proses yang kredibel dan akuntabel.

Ekonomi Tumbuh merupakan sebuah harapan sekaligus tantangan. Kita pahami bahwa semua sektor semua indikator harus mengarah pada kenaikan disesuaikan pada target. Namun kita harus berusaha memadupadankan pada setiap sisi yang dirasa mengacu pada keseimbangan. Kita harus bekerja secara Liberalis dengan mengawal proses mekanisme pasar berbasis Invisible Hand untuk semakin fleksibel disisi lain harus ada proses ungkit daya melalui Intervensi Negara bukan untuk mempersulit melainkan mendorong melalui stimulus yang muncul karena Deficit Spending dimana komponennya berasal dari Utang baik Utang Dalam Negeri berbasis Surat Utang Negara maupun Utang Luar Negeri melalui Obligasi Berjangka. Namun kita harus pahami bahwa tidak selamanya Deficit Spending bisa maksimal tentu harus ada pengoptimalan sektor lain, yaitu Burden Sharing atau berbagi beban. Lewat apa? Pemerataan Kekayaan melalui Pajak terhadap sektor yang Tumbuh dan Potensial guna memberdayakan Sektor kecil yang rentan dan terjejas. Jadi semua sama-sama bisa survive dan perekonomian bisa pulih kembali. Sekian dari saya, Terimakasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun