Mohon tunggu...
Felicia Evelyne Soesilo
Felicia Evelyne Soesilo Mohon Tunggu... Diplomat - Siswa SMA Dian Harapan

Felicia Evelyne's Blog

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sejarah | Permohonan Maaf

5 November 2018   09:12 Diperbarui: 5 November 2018   09:16 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan mengguyur kota Jakarta malam ini. Sudah hampir 5 tahun aku hidup sendiri dan ditinggalkan oleh suamiku yang dibunuh oleh tentara Jepang. Suamiku merupakan seorang pejuang Indonesia. Melihat penjajahan yang begitu kejam dan sadis, membuat suamiku ingin mempertahankan Hindia Belanda. 

Walaupun penjajahan Jepang tidak bertahan lama namun apa yang mereka lakukan jauh dari kata wajar bahkan lebih kejam dibandingkan dengan sekutu yang menjajah selama 3.5 abad. Mereka memberlakukan kerja paksa hingga banyak yang meninggal. 

Suamiku mengorbankan seluruh tenaga, jiwa, raga, dan pikiran hanya untuk Hindia Belanda. Akibat dari pengorbanannya aku harus kehilangan suamiku satu-satunya. Hancur sudah duniaku saat mengetahui suamiku terkapar tak berdaya, bercucuran darah. 

Bahkan sampai sekarang aku tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Aku sudah berusaha namun aku tak mampu membohongi hati kecilku. Aku tidak dapat menghilangkan rasa amarahku pada seluruh tentara Jepang.

Tokkk....tokkk.....

"Siapa yang mengetuk pintu di malam yang dingin ini? Sudah larut dan hujan masih saja datang berkunjung," kataku mengeluh. Aku tetap membukakan pintu, namun sesampainya di depan pintu aku tidak menemukan siapapun. Ketika aku ingin beranjak ke depan untuk melihat lebih jelas aku merasa ada sesuatu di kakiku. Saat aku melihat ke arah kakiku aku menemukan selembar kertas. Dengan segera aku mengambil kertas tersebut. Kututup pintu rumah dan kubawa kertas tersebut untuk kubaca isinya.

 PERMOHONAN MAAF," itulah kalimat pertama yang kulihat ketika aku membuka surat tersebut. Perlahan namun pasti aku mulai membaca surat itu kata demi kata. "Berkaitan dengan kejadian yang....." sebelum kulanjutkan bacaan tersebut, aku sudah mengetahui apa isi dari surat itu. Kepalaku mulai pusing dan semua memori lampau terputar jelas di otakku.

Flashback.......

"Bu, Bapak pergi dulu ya, Bapak harus memperjuangkan Hindia Belanda demi anak cucu kita nanti," ujar suamiku sesaat sebelum dia meninggalkanku ke medan perang. "Iya pak, bapak harus hati-hati disana, jaga diri baik-baik," balasku sebelum dia pergi. "Iya bu pasti, doakan bapak ya bu," ucapnya memohon restu dariku. "Selalu pak selalu..." jawabku dengan mantap.

Dorrrr.....

"MERUNDUK SEMUAAA, POSISI TIARAP," ucap komandan sekaligus suamiku. "Awas, pasukkan Jepang sudah mengetahui tempat persembunyian kita, kita harus lebih hati-hati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun