Hari ini saya merasa sangat bersyukur karena bisa menonton film "Hichki (2018)". Film yang diadaptasi dari kisah nyata dan sudah rilis sejak 7 tahun lalu. Film yang menurut saya bukan sekadar hiburan tapi juga sarat dengan pelajaran.Â
Film ini sangat cocok ditonton oleh pendidik, orang tua, bahkan calon orang tua. Disini, kita diajak melihat bagaimana seorang guru mampu mendidik dengan hatinya, sabar, kreatif, namun juga mampu tegas dalam mengajarkan tanggung jawab sehingga murid-muridnya bisa tetap menghormati dan menaruh rasa segan.
Dan baru beberapa menit saja menontonnya, dada sudah terasa sangat sesak. Film yang sekilas nampak sederhana, namun diam-diam mampu mengguncang hati dan menampar nurani.
Tokohnya bernama Naina, seorang wanita dengan sindrom Tourette. Gangguan saraf ini membuat tubuhnya sering tersentak, disertai suara cegukan yang tak terkendali. Bagi sebagian orang, itu mungkin dianggap kelemahan bahkan aib. Namun tidak bagi Naina. Hichki bukan penghalang baginya untuk menjadi guru sejati.Â
Naina lulusan S2, ilmunya tinggi, semangat mengajarnya luar biasa. Tapi berkali-kali ia ditolak. Alasannya sederhana sekaligus menyakitkan: kekurangannya dianggap tidak pantas untuk menjadi seorang guru.Â
Hingga suatu hari, takdir membawanya mengajar di sekolah bergengsi, namun di kelas yang paling tidak disukai oleh para guru bahkan sangat dihindari. Dan guru yang pernah mengampu kelas "9F" itu, belum pernah ada yang bertahan lama.
Kelas itu adalah tempat murid-murid "buangan" berkumpul. Mereka anak-anak miskin, dianggap pembuat onar, dan dicap tak punya masa depan. Guru-guru lain sudah menyerah pada mereka, melihatnya bukan lagi sebagai anak didik, tapi sebagai "masalah" yang harus disimpan sampai mereka lulus.
Melihat kondisi kelas itu yang seolah mustahil diubah, inilah saat perjuangan Naina benar-benar diuji. Perjuangannya bukan hanya melawan ejekan murid dan tatapan remeh rekan kerja, tapi juga sistem pendidikan yang kadang terjebak pada angka dan nilai rapor. Sistem yang fokus mencetak siswa pintar, tapi lupa mengajarkan bagaimana "hati mereka bisa hidup."
Naina sempat hampir menyerah. Namun, Ia tetap mencoba dan menatap lebih jauh. Ia pun melihat jika ternyata hati mereka rapuh, jiwa mereka bimbang bahkan beberapa mulai tersesat, namun sebenarnya mereka semua punya potensi, dan baiknya mereka masih mau dibimbing.
Lambat laun, Naina mampu menyentuh hati mereka. Ia mengajarkan keberanian untuk mencoba, keteguhan menghadapi kegagalan, dan mampu menanamkan integritas:Â agar tetap melakukan hal yang benar, menjaga prinsip, dan bersikap jujur meski tak ada yang mengawasi.
Setiap pelajaran yang Naina berikan bukan sekadar angka atau tulisan di papan. Tapi juga tentang makna di sebaliknya, "apa gunanya belajar ini dan itu?"
Sampai pada akhirnya, anak-anak pun mulai berubah. Mereka mulai percaya pada diri sendiri, mereka belajar menghargai perjuangan gurunya dan pengorbanan orang tuanya. Mereka mampu bangkit dengan usaha dan kejujuran, berhasil menepis stigma buruk, dan membuat haru sekaligus bangga.Â
Naina berhasil. Semua murid 9F lulus, bahkan dua diantaranya menjadi yang terbaik. Naina tidak hanya membuat anak didiknya pandai, tetapi juga mampu membentuk jiwa mereka.
Hichki mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati tidak hanya menuntut kepintaran, tapi juga akhlak. Guru sejati ialah yang mampu menyalakan cahaya di hati murid-muridnya, bukan sekedar nilai terbaik. Dan murid sejati belajar lebih dari sekedar soal dan jawaban yang benar, namun juga integritas, memahami ilmu, dan tau cara mengamalkannya.
Film ini menjadi refleksi bagi kita semua. Guru sejati adalah amanah besar: bukan sekadar memindahkan pengetahuan, tetapi membimbing murid menjadi manusia yang mampu berdiri tegak di atas perjuangan jujur dan bermanfaat bagi sesama.Â
Keberhasilan sejati terjadi ketika murid tidak hanya lulus ujian sekolah, tapi juga siap menghadapi ujian kehidupan dengan hati teguh, mulia, dan ilmu yang membawa keberkahan. Sehingga ijazah yang didapat bukan sekedar formalitas.
Dan tugas guru sejati juga tidak terbatas hanya di sekolah. Orang tua juga berperan di rumah. Ibu sebagai madrasah pertama, dan ayah sebagai kepala sekolah. Setiap interaksi adalah kesempatan untuk membimbing, menanamkan akhlak, dan menyiapkan generasi yang kuat hatinya dan mulia akhlaknya.
Hichki mungkin hanya sebuah kisah di layar, tapi pesannya sarat pelajaran hidup yang seharusnya terus kita bawa. Sudahkah kita mampu menjadi guru sejati? Baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun orang-orang di sekitar kita.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI