Di tengah hiruk-pikuk kota Bandung, terdapat sebuah oase alam yang menyimpan lebih dari sekadar pemandangan indah. Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda bukan hanya ruang hijau biasa, tetapi juga penjaga sejarah, laboratorium konservasi, dan tempat pelarian ideal bagi mereka yang haus udara segar serta makna dari perjalanan. Namun, sekuat apapun potensinya, daya tarik wisata tak akan bernilai jika tidak dikemas dan dikomunikasikan dengan tepat.
Keindahan Alam dan Kekayaan Sejarah: Kekuatan yang Tak Terlihat
Tahura menawarkan perpaduan harmonis antara wisata alam dan wisata sejarah. Di satu sisi, kita dimanjakan oleh lanskap hutan pinus, jalan setapak yang sejuk, serta kehadiran penangkaran rusa yang menenangkan. Di sisi lain, peninggalan kolonial seperti Gua Jepang dan Gua Belanda menjadi pengingat bisu akan masa lalu yang penuh cerita.
Namun, daya tarik ini masih terasa "mentah" secara presentasi. Banyak pengunjung yang tidak memahami nilai sejarah gua atau alasan ilmiah di balik tampilan penangkaran rusa yang tampak 'tidak terawat'. Padahal, desain habitat itu memang disengaja agar alami dan tidak mengganggu perilaku satwa. Sayangnya, minimnya papan informasi, media visual, atau alat bantu edukasi menjadikan banyak potensi edukatif ini "menghilang" di mata pengunjung awam.
Kurangnya Narasi, Berkurangnya Makna
Zaman sekarang, wisatawan tidak lagi hanya datang untuk melihat; mereka ingin merasakan dan memahami. Sayangnya, narasi daya tarik wisata di Tahura belum dikemas dalam bentuk yang memikat dan menyentuh. Informasi verbal dari pemandu saja tidak cukup, apalagi jika pemandunya belum mendapatkan pelatihan interpretatif yang profesional. Padahal, pengalaman wisata akan jauh lebih berkesan jika dipadukan dengan storytelling yang menyentuh emosional dan intelektual wisatawan.
Bayangkan jika setiap titik penting di Tahura dilengkapi QR code interaktif, infografik sejarah, atau papan narasi konservasi yang menyentuh hati. Atau bahkan, teater mini hutan tempat pengunjung bisa menonton dokumenter pendek tentang sejarah kawasan, satwa endemik, atau pentingnya konservasi. Semua itu akan mengubah perjalanan biasa menjadi perjalanan yang bermakna.
Potensi Inovasi yang Ramah Konservasi
Tahura memang bukan destinasi wisata komersial, dan di situlah letak keunikannya. Justru karena membawa misi konservasi, pengemasan daya tariknya harus lebih bijak dan kreatif. Inovasi seperti tur malam berbasis edukasi, game interaktif bertema ekosistem, atau wisata naratif dengan augmented reality bisa menjadi pendekatan kekinian yang tetap ramah terhadap alam.
Hal penting yang harus dipahami adalah: edukasi bukan berarti membosankan, dan konservasi bukan berarti membatasi pengalaman wisatawan. Jika dikelola dengan pendekatan komunikasi yang humanis dan visual yang menggugah, Tahura bisa menjadi contoh sukses destinasi ekowisata yang tidak hanya dikunjungi, tapi juga dihayati.
Daya tarik Tahura bukan soal seberapa indah curugnya atau seberapa dalam guanya. Tapi tentang bagaimana pengalaman itu dikisahkan dan diterjemahkan menjadi kesadaran baru bagi pengunjung. Ketika wisatawan tidak hanya melihat, tetapi juga mengerti dan terhubung secara emosional dengan tempat yang mereka datangi, maka daya tarik itu berubah menjadi daya ikat, pengalaman yang membekas dan ingin diulang kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI