Mohon tunggu...
Fiky Akirta
Fiky Akirta Mohon Tunggu... -

Penulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jarak

4 September 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:22 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini angin menerobos jendela kamar dengan agak ramah, cukup membuat gorden melambai halus. Aku yang sedari tadi termangu di depan layar komputer tetapi dengan mata yang tidak bisa lepas dari layar ponsel. Berkali aku meliriknya, menekan satu angka, lantas meletakkannya kembali.

“Kau sedang apa?” Aku bergumam pelan, bertanya pada benda mati yang menyedot perhatianku selama dua jam terakhir ini.

Disini malam ini begitu indah, bulan melengkung sempurna senyummu, apakah di kotamu juga sama? Di kotamu sekarang pukul berapa ya? Disini sudah pukul sebelas malam, dan aku sama sekali belum menyentuh keyboard semenjak aku tersadar bahwa… aku mengkhawatirkanmu. Atau mungkin juga aku merindukanmu. Padahal ada setumpuk tugas yang sudah meronta-ronta ingin kusentuh.

Akhirnya layar ponselku berkedip-kedip. “Hallo.” Aku menyapamu dengan senyum menghias wajah, tentu kau tak bisa melihatnya.

“Hai, sedang apa? Mengerjakan tugas? Kau sibuk?” Suaramu, akhirnya aku mendengarnya secara nyata.

“Err… Tidak. Aku tidak sedang mengerjakan apapun.”

“Oh.. aku pikir kamu sedang sibuk seperti biasanya.” Kau berkata lagi, “Aku… boleh bertanya sesuatu?”

“Apa?” Irama jantungku berubah tidak beraturan, aku takut yang akan kau tanyakan adalah…

“Hmm… aku mempunyai sahabat, dia sudah lama menjalani suatu hubungan yang aneh dengan seorang lelaki.” Kudengar kau tertawa samar. “Kau tahu kenapa aku sebut hubungan mereka aneh?”

“Tidak.” Aku menjawab pendek, sebagai tanda aku sedang menyimak ceritamu.

“Karena mereka bodoh. Mereka sama-sama sepakat untuk berpura-pura. Ya, sepakat untuk merasa cukup hanya dengan menjadi sahabat. Padahal keduanya tahu bahwa mereka saling menyayangi sejak lama.” Untuk kedua kalinya aku mendengar kau tertawa, sebenarnya tawa yang sedikit aneh ditelingaku. “Sahabatku bertanya padaku, apa yang harus dia lakukan. Aku jawab aku tidak tahu. Kau tahu apa yang harus dia lakukan?”

Sepertinya aku mulai mengerti alur ceritamu mengalir kemana. Dan pertanyaanmu sungguh menodongku.

“Apa kau tahu kenapa lelaki itu hanya diam saja? Membiarkannya hanya sebatas sahabat?” Kau bertanya lagi.

“Mungkin… mungkin lelaki itu mempunyai alasan yang hanya dia sendiri yang tahu.” Aku menjawab dengan ragu, apakah sesuai dengan apa yang ingin kau dengar ataukah malah sebaliknya. “Kau tahu? Lelaki itu selalu mempunyai ruang dihatinya dan hanya dia yang tahu.”

“Kau setuju jika ku katakan hubungan mereka aneh?” Kau bertanya lagi, ada yang berbeda dengan nada bicaramu.

“Mungkin iya.”

“Lalu?”

“Apa?” Aku bertanya tak mengerti.

“Bukankah seharusnya sepasang manusia yang saling menyayangi bisa bersama sebagai kekasih?” Kau terdengar bukan sedang bertanya, tetapi lebih seperti meminta dukungan atas pemikiranmu.

“Iya, bisa saja. Tapi kau tahu? Tidak semua manusia yang saling menyayangi bisa bersatu sebagai sepasang kekasih.”

Hening. Tak ada jawaban darimu. Malam semakin larut dan entah kenapa hawa disini semakin dingin, aku memutuskan untuk menutup jendela. Sejenak aku tertegun menatap bulan yang terhalang mega. Apa kau sudah menutup jendela kamarmu? Tanyaku dalam hati.

“Tolong sampaikan maafku kepada sahabatmu, mungkin aku tidak banyak membantu, tapi…”

“Bagaimana dengan kita? Bukankah kau setuju bahwa hubungan kita aneh?” Kau memotong perkataanku dengan nada suara yang tidak biasa.

“Ada apa denganmu malam ini?” Tanyaku heran.

“Kau tadi setuju bahwa hubungan kita aneh. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan kau lakukan?”

Aku tahu kemana arah pembicaraanmu, aliran cerita itu memang benar-benar bermuara pada diriku. “Aku…”

“Oh… mungkin aku yang salah merasa. Aku pikir kau menyayangiku.” Kau berkata pasrah.

“Aku memang menyayangimu.” Sungguh aku menyayangimu. Aku mengulang kalimat itu dalam hati.

“Lalu?” Kau bertanya, meminta kelanjutan kalimatku.

“Lalu…” Kalimatku menggantung. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.

“Sudahlah, aku yang bodoh. Aku yang salah merasa.”

Aku mengembuskan napas panjang. “Dengar, aku menyayangimu, sungguh. Sama persis seperti yang kau tahu selama ini. Kau tidak salah merasa, kau tidak bodoh. Terlebih yang harus kau tahu adalah cinta bukan perkara benar atau salah. Aku sudah lama mencintaimu, menyayangimu, dan tidak pernah sedetikpun aku berpikir bahwa aku telah salah atas perasaan ini.”

Aku menunggu tanggapanmu, tapi kau diam. “Aku hanya… terlalu bingung, mungkin aku yang bodoh. Aku tidak tahu bagaimana caranya memangkas jarak agar kita selalu berdekatan. Agar raga kita tidak terpaut jarak yang begitu jauh. Aku selama ini menunggu, tapi waktu tidak juga membuat mata kita bersitatap. Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Jarak?” Kau bertanya singkat.

“Ya. Aku terlalu pengecut menghadapi jarak dan waktu yang menyergapku sekaligus. Kau boleh katakan aku bodoh, pengecut, apa saja terserah maumu. Tapi yang harus kau tahu, aku sungguh menyayangimu.” Jawabku tulus.

Lagi-lagi tidak ada tanggapan darimu. Aku mulai kebas, mungkin setelah ini aku akan menyesal untuk apa yang telah aku ucapkan.

“Ikuti saja alirannya, lihat kemana dia akan bermuara.” Tambahku. “Jika sepasang manusia ditakdirkan untuk bersama, mereka pasti akan menjadi sepasang kekasih.”

“Kau benar.” Kau berkata singkat dengan nada bicara dan suara yang yang aku rindukan.

Aku tersenyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun