Saat "Gratis" Tak Lagi Sekadar Soal Makan
Ketika pemerintah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai sekolah pada 2025, banyak orangtua menyambutnya dengan rasa syukur bercampur penasaran. Anak-anak kini bisa menikmati makan siang bergizi di sekolah tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan, dan bagi banyak keluarga, ini menjadi keringanan nyata di tengah tekanan ekonomi yang terus meningkat.
Namun, di balik kegembiraan itu, muncul pertanyaan baru yang lebih dalam:
"Kalau anak sudah dapat makan bergizi gratis di sekolah, masih perlukah diberi uang jajan setiap hari?"
Pertanyaan sederhana ini ternyata membuka ruang refleksi luas:Â tentang pendidikan finansial anak, kebiasaan konsumsi keluarga, hingga peran orangtua dalam membentuk karakter ekonomi generasi muda.
Artikel ini mencoba menelaah fenomena tersebut secara mendalam-bukan hanya dari sisi praktis, tapi juga sosial, psikologis, dan kultural.
MBG dan Paradigma Baru: Dari Kebutuhan ke Pembiasaan
Program MBG bukan sekadar proyek makan gratis. Ia adalah intervensi kebijakan publik yang menyentuh jantung kehidupan keluarga Indonesia. Dengan satu langkah, pemerintah berusaha memastikan bahwa tidak ada anak sekolah yang belajar dalam keadaan lapar, sekaligus menanamkan nilai gizi, kebersamaan, dan kebersihan sejak dini.
Namun, efek domino dari program ini lebih luas dari yang terlihat.
Dulu, uang jajan adalah sumber utama anak untuk bertahan di sekolah-untuk membeli sarapan, air minum, camilan, hingga makan siang. Kini, fungsi itu sebagian besar telah diambil alih MBG. Maka wajar jika muncul dilema: apakah uang jajan masih relevan?
Jawabannya tidak hitam putih.
Uang jajan bukan hanya "alat beli", tetapi juga "alat belajar". Anak belajar memilih, menunda keinginan, dan memahami nilai uang. Maka, ketika MBG datang, uang jajan justru perlu dikonversi dari alat konsumsi menjadi alat pendidikan.
Psikologi Anak: Uang Jajan Sebagai Simbol Kemandirian