Produktivitas Beracun: Budaya Kerja yang Menghancurkan Kreativitas
Kita berada di era di mana istilah "produktif" seolah menjadi semboyan yang sakral. Dalam dunia media sosial, banyak konten motivasi yang mengajarkan cara bangun jam 4 pagi, menyusun daftar tugas yang panjangnya seperti novel, hingga bekerja tiada henti seolah tidur adalah barang mewah. Di lingkungan kantor, produktivitas seringkali identik dengan lembur, tumpukan target, dan KPI yang semakin ketat.
Namun, apakah benar produktivitas yang kita kejar dengan gigih itu memberi makna lebih dalam hidup dan pekerjaan kita? Atau hanya terperangkap pada apa yang disebut produktivitas beracun budaya kerja yang seakan memaksa kita untuk terus bekerja, tanpa henti, hingga akhirnya merusak kreativitas bahkan kemanusiaan kita sendiri?
Produktivitas yang Palsu
Produktivitas seharusnya memiliki arti: menciptakan sesuatu yang bernilai, berdampak, dan bermanfaat. Namun dalam praktiknya, produktivitas kini lebih sering diukur dari jumlah jam kerja dan kecepatan penyelesaian tugas, bukannya kualitas hasilnya.
Menurut Cecilie Schou Andreassen. J Behav Addict. (2014) Workaholism: An Overview and Current Status of the Research .Â
 Dijelaskan sebagai kecenderungan kerja yang berlebihan & kompulsif. Dihubungkan dengan outcome negatif pada kesehatan / well-being, konflik kerja-keluarga, dan burnout. Teori ahli pada workaholism jadi salah satu fondasi untuk memahami fenomena tersebut.
Karyawan yang pulang tepat waktu sering dianggap "kurang loyal". Mereka yang memilih untuk mendalami satu pekerjaan sering kali dicap "lamban". Akhirnya, orang berlomba untuk memperbanyak pekerjaan, bukan menyelesaikannya dengan lebih baik.
Hasilnya? Banyak laporan tebal yang tidak pernah dibaca, presentasi berisi data tanpa makna, atau rapat panjang yang hanya sekadar formalitas. Dari luar, semua terlihat sibuk dan "produktif". Namun, sesungguhnya kita membangun budaya kerja yang palsu.
Kreativitas yang Sirna
Kreativitas memerlukan ruang hampa---waktu untuk berpikir, merenung, dan bahkan merasakan kebosanan. Namun budaya produktivitas beracun justru membunuh ruang tersebut. Ketika setiap menit kehidupan harus dipenuhi dengan "kerja" atau "aktivitas produktif", maka tidak ada lagi kesempatan untuk berimajinasi. Ide-ide baru lahir dari jeda, bukan dari tumpukan target.
Ironisnya, di tengah gempuran era digitalisasi
teknologi, perusahaan justru sangat membutuhkan karyawan yang kreatif, inovatif, dan adaptif. Tapi bagaimana mungkin kreativitas bisa tumbuh jika setiap hari dihabiskan untuk mengejar angka target? Target yang sebetulnya TIDAK tepat dan realistis.
Ini juga berpengaruh terhadap beberapa hal penting
Dampak Psikologis yang Nyata
Budaya kerja yang mendesak produktivitas tanpa akhir berujung pada burnout: kelelahan fisik, emosional, dan mental yang akut. WHO bahkan telah menetapkan burnout sebagai salah satu fenomena kesehatan kerja.
Generasi muda di dunia kerja kini semakin rentan. Mereka tidak hanya bekerja di kantor, tetapi juga "dikejar" produktivitas di media sosial. Ada tekanan untuk selalu tampak sibuk, sukses, dan dipenuhi pencapaian. Hidup seolah hanya berharga jika dapat ditunjukkan dalam bentuk "hasil kerja" yang nyata.
Akibatnya, semakin banyak individu yang kehilangan makna dalam pekerjaan. Kerja hanya menjadi rutinitas melelahkan, bukan lagi sumber kebanggaan atau aktualisasi diri.
Saatnya Mengubah Arti Produktif
Kita perlu mendefinisikan ulang produktivitas. Bukan hanya soal seberapa banyak jam lembur, seberapa banyak laporan, atau seberapa cepat tugas diselesaikan. Produktif seharusnya diukur dari berbagai perspektif yang lebih luas dan bermakna.
Kualitas hasil, bukan kuantitas aktivitas.
Inovasi dan dampak nyata, bukan sekadar mencapai target.
Kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja, bukan seberapa kuat mereka menahan tekanan.
Perusahaan juga harus berani menerapkan kebijakan yang memberi ruang bagi kreativitas. Misalnya, jam kerja yang fleksibel, ruang istirahat yang memadai, atau program khusus untuk eksplorasi ide di luar rutinitas harian.
Lebih jauh lagi, sebagai individu, kita harus berani menantang narasi keliru tentang produktivitas. Bahwa beristirahat sejenak, tidak menurunkan kegigihan karyawan dalam menyelesaikan tugas nya . Menurut saya hal tersebut perlu di lakukan memberikan ruang dan kesempatan untuk membangun kreatifitas jika hal melelahkan yang terjadi maka hanya akan memberikan output Demotivasi pada individu tersebut tidak ada ruang untuk sumber daya manusia berfikir kreatif  pada diri sendiri  atau bahkan membiarkan diri merasa bosan bukanlah kemalasan. Itu justru bagian penting dari proses kreatif.
Produktivitas beracun adalah perangkap zaman modern. Ia membuat kita terlihat sibuk, tetapi tidak selalu menawarkan perkembangan yang membangun. Ia memaksa kita untuk bekerja lebih lama, tetapi tidak selalu lebih baik. Dan yang paling berbahaya dampaknya bisa menyebabkan kita kehilangan jati diri sebagai manusia yang sesungguhnya kaya akan ide dan imajinasi...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI