Mohon tunggu...
feby zsa zsa tivany
feby zsa zsa tivany Mohon Tunggu... penulis

Acta Non verba

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Toxic Productivity : Budaya kerja yang membunuh kreatifitas!

25 September 2025   20:00 Diperbarui: 25 September 2025   19:45 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture : https://pin.it/1xEPkIqtB

Produktivitas Beracun: Budaya Kerja yang Menghancurkan Kreativitas
Kita berada di era di mana istilah "produktif" seolah menjadi semboyan yang sakral. Dalam dunia media sosial, banyak konten motivasi yang mengajarkan cara bangun jam 4 pagi, menyusun daftar tugas yang panjangnya seperti novel, hingga bekerja tiada henti seolah tidur adalah barang mewah. Di lingkungan kantor, produktivitas seringkali identik dengan lembur, tumpukan target, dan KPI yang semakin ketat.

Namun, apakah benar produktivitas yang kita kejar dengan gigih itu memberi makna lebih dalam hidup dan pekerjaan kita? Atau hanya terperangkap pada apa yang disebut produktivitas beracun budaya kerja yang seakan memaksa kita untuk terus bekerja, tanpa henti, hingga akhirnya merusak kreativitas bahkan kemanusiaan kita sendiri?

Produktivitas yang Palsu
Produktivitas seharusnya memiliki arti: menciptakan sesuatu yang bernilai, berdampak, dan bermanfaat. Namun dalam praktiknya, produktivitas kini lebih sering diukur dari jumlah jam kerja dan kecepatan penyelesaian tugas, bukannya kualitas hasilnya.

Menurut Cecilie Schou Andreassen. J Behav Addict. (2014) Workaholism: An Overview and Current Status of the Research . 

 Dijelaskan sebagai kecenderungan kerja yang berlebihan & kompulsif. Dihubungkan dengan outcome negatif pada kesehatan / well-being, konflik kerja-keluarga, dan burnout. Teori ahli pada workaholism jadi salah satu fondasi untuk memahami fenomena tersebut.


Karyawan yang pulang tepat waktu sering dianggap "kurang loyal". Mereka yang memilih untuk mendalami satu pekerjaan sering kali dicap "lamban". Akhirnya, orang berlomba untuk memperbanyak pekerjaan, bukan menyelesaikannya dengan lebih baik.

Hasilnya? Banyak laporan tebal yang tidak pernah dibaca, presentasi berisi data tanpa makna, atau rapat panjang yang hanya sekadar formalitas. Dari luar, semua terlihat sibuk dan "produktif". Namun, sesungguhnya kita membangun budaya kerja yang palsu.

Kreativitas yang Sirna
Kreativitas memerlukan ruang hampa---waktu untuk berpikir, merenung, dan bahkan merasakan kebosanan. Namun budaya produktivitas beracun justru membunuh ruang tersebut. Ketika setiap menit kehidupan harus dipenuhi dengan "kerja" atau "aktivitas produktif", maka tidak ada lagi kesempatan untuk berimajinasi. Ide-ide baru lahir dari jeda, bukan dari tumpukan target.

Ironisnya, di tengah gempuran era digitalisasi
teknologi, perusahaan justru sangat membutuhkan karyawan yang kreatif, inovatif, dan adaptif. Tapi bagaimana mungkin kreativitas bisa tumbuh jika setiap hari dihabiskan untuk mengejar angka target? Target yang sebetulnya TIDAK tepat dan realistis.
Ini juga berpengaruh terhadap beberapa hal penting

Dampak Psikologis yang Nyata
Budaya kerja yang mendesak produktivitas tanpa akhir berujung pada burnout: kelelahan fisik, emosional, dan mental yang akut. WHO bahkan telah menetapkan burnout sebagai salah satu fenomena kesehatan kerja.

Generasi muda di dunia kerja kini semakin rentan. Mereka tidak hanya bekerja di kantor, tetapi juga "dikejar" produktivitas di media sosial. Ada tekanan untuk selalu tampak sibuk, sukses, dan dipenuhi pencapaian. Hidup seolah hanya berharga jika dapat ditunjukkan dalam bentuk "hasil kerja" yang nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun