Mohon tunggu...
Febriantono Eddy Putranto
Febriantono Eddy Putranto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis yang senang membagikan artikel, karena Ilmu semakin dibagi akan semakin bertambah

Seorang Dokter Residen yang sedang melanjutkan S2 Spesialis di Jawa Timur. Tertarik dalam banyak topik, khususnya mengenai kesehatan, fiksi, ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen Fiksi] Mengurung Musuh Tak Kasat Mata

20 Agustus 2020   22:55 Diperbarui: 20 Agustus 2020   22:57 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"...Sebaiknya dilakukan isolasi dalam rumah sakit, untuk kebaikan anda dan keluarga."

Kata-kata ini berulang-ulang kubaca melalui aplikasi pesan dari ponsel canggihku. Tidak pernah sepanjang hidupku memikirkan akan mengalaminya sendiri. 

Bahkan aku tidak memiliki bayangan dalam mengkhayalkan hanya untuk memberikan otakku rutinitas olah-raga kreativitas. Namun memang seperti ini takdir bekerja. Tidak ada yang dapat melawan ketika Tuhan sudah memukulkan palu-Nya.

Berkaca kembali kepada hari-hari sebelumnya, sebagai seorang pekerja yang sering melakukan pertemuan dengan pihak tenaga kesehatan, aku hanya bisa mengagumi kegagahan mereka dalam melaksanakan tugasnya dalam mengobati pasien-pasien yang banyak berdatangan ke rumah sakit. 

Mengingat pengalamanku bekerja di dalam baju kostum sudah membuatku bergidik. Bahkan aku sempat melepas bagian kepala kostumku untuk menarik nafas seraya beristirahat dari lelahku dalam menghibur pejalan kaki yang lewat, apalagi mereka yang harus melakukannya tanpa boleh melepaskan penutup kepala yang berlapis tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, serangan pandemi Coronavirus-19 (COVID-19) menjadi musibah bagi umat manusia di belahan bagian manapun. Virus ini menyerang negara manapun tanpa terkecuali, negara berkembang maupun negara maju, orang kaya maupun miskin, yang sehat maupun yang sedang sakit. 

Virus jahat ini lebih kejam daripada virus-virus yang menyerang tubuh biasanya, yang bisa sembuh sendiri karena masyarakat telah dilakukan vaksinasi dan virus sendiri menimbulkan penyakit yang self-limiting setelah beberapa hari pengobatan. 

Namun, serangan virus ini berbeda. Virus ini tidak hanya menyerang tubuh manusia, melainkan juga menyerang ekonomi negara dan memberikan ketakutan pada manusia. 

Benar, ketakutan menjadi senjata utama virus ini. Kemampuannya dalam mengakhiri hidup manusia, menyengsarakan sisa hidup pengidap penyakit dengan terpasang alat bantu nafas, dan tidak pandang bulu, menjadikan virus ini dilabeli berbahaya.

Bagaimana tidak, selain penularannya melalui udara/droplet cairan tubuh, virus ini juga sulit untuk dicegah penularannya. Penggunaan masker masih belum bisa sempurna karena banyak yang tidak mempercayai keberadaan virus ini. Oknum-oknum yang bermunculan memberikan opini yang berbeda menggiring masyarakat hingga terpecah dalam penyelesaian penjajahan virus ini.

Aku sudah memperhatikan media massa dalam memberitakan awal virus ini di Wuhan sejak Januari, dimana perkembangan penyakitnya sangat mengerikan dan tampak terlambat dalam karantinanya. Ya, karena keterlambatan itu, aku paranoid bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia, namun tidak ada satupun yang mengetahuinya. Sejak membaca artikel tersebut, aku mulai menggunakan masker.

Ketakutanku bukan tidak berdasar. China, adalah salah satu negara terbesar dengan kepadatan penduduk tertinggi. Untungnya, mereka sudah sering memakai masker karena tingkat polusi yang juga tinggi di negaranya. Namun, perpindahan individunya tidak dapat dielakkan. Tidak butuh waktu lama sehingga virus tersebut sudah menyebar ke seluruh dunia. Sangat disayangkan, kondisi ini bukan sebuah cerita fiksi.

Masker yang kupakai membawa opini masing-masing teman kerjaku. Ada sebagian dari mereka yang menanyakan apakah sedang sakit, dan mengapa datang apabila sedang sakit. Ketika kujelaskan, kolegaku tertawa melihatku memakai masker ke kantor. 

"Alah lebay lo, Ren. Beritanya aja masih di luar sana, belom juga terbukti ada penyebarannya," ujar salah satu kolegaku.

"Gapapa ji, paranoid gue. Lebih baik aman deh daripada kenapa-kenapa," jawabku kepada kolegaku tadi.

Aku memang takut sakit. Bukan takut jarum, namun takut ke rumah sakit. Bukan karena kondisinya yang horor, namun lebih karena kita tidak tahu ada berapa banyak penyakit-penyakit menular yang ada di dinding-dinding serta peralatan-peralatan di rumah sakit tersebut. 

Walaupun sudah dibersihkan oleh petugas-petugasnya, sudah disterilkan pun, aku masih sulit untuk memberanikan diriku datang ke rumah sakit. Apabila terpaksa harus datang, aku akan memakai sarung tangan, masker, dan terkadang kacamata pelindung.

Lima hari yang lalu, aku ditugaskan untuk menghadap ke pimpinan sebuah rumah sakit negeri di Jawa Timur, tepatnya di Surabaya. Aku sudah menyiapkan perlengkapanku sendiri. 

Terserah kata kolegaku, tapi aku tahu kondisi yang terjadi. Kami berencana untuk menjualkan kepada rumah sakit tersebut suplai alat pelindung diri (APD) yang dibutuhkan oleh rumah sakit tersebut terkait peningkatan penyebaran infeksi virus COVID-19 ini. Aku benar-benar berharap bisa bertemu beliau di luar rumah sakit, namun apa daya, kantor beliau didalam rumah sakit tersebut.

Aku pernah sebelumnya ke rumah sakit ini. Kunjunganku ini bukan kunjungan pertama. Banyak yang berubah, menjadi jauh lebih kelam. Lebih sepi. Tenaga kesehatan yang sebelumnya bergerak memakai jas dokter, atau baju khususnya, sekarang menjadi benar-benar mengamankan diri dengan APD dan baju Hazmat. Dari perjalananku mulai parkiran hingga kantor, aku sudah melihat 3 pasien yang diantar dengan orang-orang yang menggunakan baju Hazmat tersebut. 

Ketakutanku 2 bulan yang lalu terjadi. 

Bulu kudukku berdiri, membayangkan kesulitan mereka dalam bernafas. Benar-benar, kita tidak akan pernah tahu harga sebuah objek sampai objek itu tidak ada di sekitar kita. 

Buat pasien-pasien tersebut, udara pasti menjadi objek yang sangat berharga. Begitu pula dengan orang-orang berbaju Hazmat tersebut. Tampak mereka berpeluh dan benar-benar menjaga agar tidak ada yang kontak dengan pasien tersebut maupun dengan dirinya. karena penemuan terakhir menunjukkan virus-virus ini bisa bertahan dalam jangka waktu masing-masing di permukaan benda yang berbeda-beda.

Sementara aku hanya menggunakan masker, face shield, dan kacamata pelindung.

Jiwa paranoidku membuatku gusar kembali.

Setiap detik yang kupakai untuk menunggu rapat dengan pimpinan rumah sakit ini membuatku berdebar. Aku tidak ingin seperti mereka, yang kebebasannya direnggut dalam isolasi, yang kenikmatan dalam bernafas direnggut, kenikmatan dalam mencium harum makanan yang hilang, kenikmatan dalam bergerak, ambyar. Belum lagi kemungkinan aku dapat menularkan ke orang lain, ke keluargaku sendiri.

Aku benar-benar gelisah.

Panah panjang jarum jam bergerak menunjukkan detik yang terlewati dengan sangat pelan.

Mungkin hanya perasaanku.

Perasaan ketakutanku terhadap musuh yang tak terlihat ini.

9...

10...

"Pak Rendra, silahkan masuk. Bapak pimpinan sudah menunggu."

Akhirnya.

Aku mengambil nafas panjang, memperbaiki kerahku dan melangkah ke dalam kantor. Slide demi slide kujelaskan dengan baik mengenai produk APD kami dan program kerjasama jangka panjang yang nantinya akan dijadikan program berkelanjutan. Aku yakin sudah menyampaikan dengan baik, walau aku masih bisa melihat pak pimpinan, yang duduk bertopang dagu, sedang memikirkan hal lain dalam benaknya. Dahinya yang mengernyit, pandangannya yang melihat meja, seolah tidak fokus dalam rapat ini.

Bagaimana tidak. Mengepalai rumah sakit sebesar ini tentu tidak mudah, dengan tenaga kerja yang puluh-ribuan jumlahnya, yang didalamnya ada pelajar dan belum lagi pasien-pasien yang membludak. Komplain dan demand pasti berdatangan dari seluruh penjuru. Di tengah simpatiku, aku mendatangi tempat duduk beliau, menyerahkan lembar kopian dari presentasiku untuk nanti dibaca beliau ketika sudah lebih tenang.

"Mari pak, saya paham kondisi memang sedang susah. Saya yakin orang yang amanat akan dibantu oleh Yang Maha Kuasa. Berikut lembar presentasi saya, apabila bapak sudah ada waktu untuk membacanya, silahkan hubungi kami kembali". Tuturku seraya menenangkannya. Aku paham, yang mereka butuhkan sekarang adalah waktu istirahat, namun kalau mereka istirahat, siapa yang bisa menangani invasi virus ini? 

Aku harap aku bukan bagian dari orang yang tidak menghargai usaha mereka.

Kondisiku baik-baik saja, hingga 2 hari yang lalu.

Tiba-tiba badanku terasa lemas dan meriang. Tenggorokanku sakit sehingga batuk terus menerus. 

Aku takut. 

Ini gejala penyakit itu.

Apa yang salah? Apa aku kurang membersihkan diri? Apakah kurang tebal APD-ku?

Kenapa aku, ya Tuhan?

Aku tidak bisa diam saja. Dengan seluruh kekuatan badanku, aku hubungi temanku untuk membantuku memeriksakan diriku. Tidak ada yang berani menemuiku. Seperti zaman-zaman dahulu kala ketika ada penyakit yang menular, aku dikucilkan. Aku hanya bisa memohon ampun atas kesalahan-kesalahanku yang pernah aku perbuat.  

Lalu aku hubungi rumah sakit terdekat. Aku minta tolong untuk dilakukan pemeriksaan virus itu.

Tidak lama kemudian ambulan datang ke depan rumahku. Ada orang berbaju Hazmat mengetok pintu depan. Dengan sangat hati-hati, istriku membukakan pintunya untuk mempersilahkan orang tersebut masuk dan mengambil sampel swab dari dalam tenggorokanku melalui hidung dan mulut. 

Eugh, ketika tongkat berkapas tersebut dimasukkan rasanya aku mau muntah dan tanpa sengaja menitikkan air mata. Rasanya aneh sekali ada tongkat yang melintir ditengah-tengah kepalaku.

Setelah mereka pulang, aku mengurung diri di kamar tersendiri. Aku dan istriku hanya bisa berhubungan lewat aplikasi telekomunikasi. Dengan teknologi zaman sekarang, rasanya terobati dapat melihat wajahnya dari layar ponsel canggihku. Aku bisa melihat kebingungan dan kesedihan yang tercermin di mimik mukanya. Aku berikan senyuman terindahku dan lawakan-lawakan jayusku agar dia tetap terhibur.

Unik memang rasanya dikunci didalam kamar sendiri. Serasa tahanan. Makanan pun diantarkan di depan pintu, lalu aku buka supaya bisa ambil makanannya sendiri. Selesai makan, piring kotornya ku keluarkan hanya di depan pintu. Istriku mengantar dan mengambil makanannya dengan sarung tangan plastik, begitu pula denganku.

Jam-jam menunggu hasil swab keluar sangat mendebarkan. Badanku lemas, nafasku sudah semakin sesak.

Lalu hasilnya tiba.

Dan leherku serasa tercekik.

Aku letakkan kembali ponselku. Kumatikan, lalu kunyalakan kembali, hanya untuk melihat tidak ada perubahan dari tulisan tersebut.

"Ambulans akan datang menjemput anda dalam waktu 30 menit".

Apa yang bisa kulakukan dalam 30 menit?
Aku tidak kuat untuk mempersiapkan barang-barangku sendiri. Akhirnya aku minta tolong istriku untuk mempersiapkan barangku dalam 1 koper yang cukup besar.
Besar keinginanku untuk mencium kening istriku sebelum aku diangkut kedalam ambulans. Namun walau berlapis masker, aku tidak mau dia tertular.

Ya tuhan...

Jagalah istriku selama masaku dalam Isolasi.

Yang mengetahui nasibku didalam itu hanya Engkau.

Aku hanya minta kesembuhan.

Namun kalau Engkau lebih sayang aku, Aku ikhlas. Aku titip doa untuk masyarakat yang tersisa di muka bumi, agar tetap menjaga dirinya dari musuh tak kasat mata ini.

dr.FEP-[Cerpen Fiksi] Mengurung Musuh tak Kasat Mata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun