Namaku Fikri. Sudah enam tahun jadi driver ojek online di kota ini. Pagi mengantar orang kerja, siang antar makanan, malam kadang jadi teman pulang bagi mereka yang kelelahan. Aku tahu rute tercepat, tahu jalan-jalan yang sering macet, bahkan tahu wajah-wajah langganan yang tidak pernah menyapa lebih dari "sore, Mas."
Tapi ada satu penumpang yang berbeda.
Namanya Rina. Ia mulai jadi langganan sejak tiga bulan lalu. Kantornya ada di gedung konsultasi desain, rumahnya di apartemen kecil tak jauh dari Stasiun. Tidak pernah banyak bicara di awal. Tapi suatu sore, ia naik sambil menangis pelan. Aku tak tanya. Hanya memberi tisu dari dashboard dan memperlambat laju motor. Saat turun, ia berkata, "Terima kasih udah nggak tanya."
Sejak saat itu, kami mulai bicara.
Bukan yang berat. Kadang soal cuaca, kadang soal film. Tapi setiap kalimat darinya terasa seperti pelukan kecil. Ia bilang, "Kamu kalau nganter malam paling tenang." Aku cuma menjawab, "Karena jalanan kosong." Tapi diam-diam aku tahu, hatiku tidak.
Di rumah, aku punya istri dan dua anak. Kami tidak pernah bertengkar besar, tapi sudah lama tidak saling tanya soal isi hati. Semua obrolan teknis: bayar listrik, susu habis, anak batuk. Aku tidak tahu sejak kapan kami berhenti menyapa dengan mata.
Dengan Rina, setiap interaksi seperti jeda dari kehidupan yang terlalu lurus. Ia kadang memesan perjalanan meski tahu jalan kaki lebih cepat. Dan aku tak pernah menolak. Karena di antara helm dan jaket itu, ada ruang kecil di mana aku merasa dilihat.
Suatu malam, setelah mengantar dia pulang dari kantor yang lembur, aku berhenti sebentar sebelum putar balik. Ia turun perlahan, lalu berkata, "Kadang kamu jadi alasan aku pengen pulang." Aku tidak menjawab. Tapi saat motor melaju, aku merasa menangis---bukan karena cinta, tapi karena merasa cukup.
Benarkah selingkuh tidak bisa diobati?
Kalau yang dimaksud selingkuh adalah tidur dengan orang lain, mungkin aku belum melangkah ke sana. Tapi kalau hati yang pergi sebentar, aku sudah melakukannya. Aku tahu itu salah. Tapi rasanya seperti mencari selimut di malam dingin, saat rumah lupa menyediakan peluk.
Aku tidak pernah mengajak Rina lebih jauh. Tapi aku juga tidak sepenuhnya menjauh. Sampai suatu hari, ia tak lagi memesan. Aku menunggu. Mengecek riwayat. Lalu menyerah.
Dua minggu kemudian, aku mendapat pesan: "Terima kasih pernah jadi ruang aman. Sekarang aku mau belajar pulang tanpa perlu diantar." Aku menatap layar lama, lalu hanya menulis: "Semoga pintunya tetap terbuka, meski udah nggak nyari pelarian."
Sejak itu, aku mulai bicara lagi pada istriku. Pelan-pelan. Tentang hal sepele, tentang hariku, tentang lagu yang kudengar sambil mengantar penumpang. Ia dengarkan. Kadang bingung. Tapi mulai kembali menjawab dengan senyum.
Selingkuh lewat interaksi kecil bisa jadi racun kalau dibiarkan hidup. Tapi bisa juga jadi alarm---bahwa hati butuh disentuh, bukan hanya dijaga.
Dan sekarang, tiap kali aku antar penumpang baru, aku ingat: bahwa jadi ruang aman orang lain itu anugerah. Tapi membiarkan diri jadi pelarian tanpa arah adalah pilihan yang harus kuwaspadai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI