Aku masih ingat sore itu—jalanan macet menjelang maghrib, lampu kota mulai menyala satu per satu, dan di depan mataku berdiri tiga bangunan yang rasanya tak pernah benar-benar netral bagiku. Masjid di kanan, megah dengan menara putih yang memanggil orang-orang pulang. Gereja di kiri, sunyi dan teduh, jendela kacanya memantulkan langit jingga yang mulai redup. Dan di tengah, berdiri sebuah hotel sederhana, bintang tiga, tidak mencolok tapi cukup nyaman untuk sekadar singgah.
Aku berhenti di sana.
Bukan karena ingin bermalam. Tapi karena ada seseorang yang menungguku di lantai lima—Rendi, teman lama yang belakangan intens mengisi pesan-pesan di ponselku. Kami dulu sekelas di kampus, tidak pernah ada yang istimewa, sampai beberapa bulan lalu dia bertanya, “Kamu bahagia di pernikahanmu?”
Pertanyaan itu sederhana. Tapi aku tidak tahu harus menjawab apa.
Suamiku, Farid, orang baik. Tidak pernah kasar. Kami punya anak satu, hidup stabil, sesekali makan malam keluarga. Tapi percakapan kami sejak lama hanya sebatas instruksi. “Jemput si kecil jam tiga,” atau “Tagihan air udah lunas.”
Rendi berbeda. Ia menanyakan perasaanku, bukan hanya kegiatan. Ia bilang, “Kalau kamu sedih, aku ada.” Dan aku mulai membalas. Awalnya pelan. Lalu intens. Lalu aku di sana, berdiri di depan hotel, di antara dua bangunan yang seharusnya mengingatkanku pada jalan pulang.
Masuk ke lorong hotel itu rasanya seperti membungkam suara hati sendiri. Di satu sisi, adzan berkumandang, menggema lewat jendela kaca. Di sisi lain, lonceng gereja berdenting pelan. Tapi di lorong itu, tak ada suara. Hanya langkahku dan rasa bersalah yang menyeret bayangan panjang ke lantai marmer.
Rendi menyambutku dengan senyum. Tak berlebihan. Tak langsung menyentuh. Tapi matanya bicara: “Akhirnya kamu datang.”
Kami tidak melakukan apa-apa malam itu. Hanya duduk, minum kopi sachet, bercerita. Ia bicara tentang perasaannya yang belum selesai sejak dulu. Aku bicara tentang perasaan yang tak pernah sempat dimulai. Kami tertawa. Kami diam. Kami saling pandang lama sekali. Dan dalam pandangan itu, aku tahu: aku tidak sedang baik-baik saja.
Pelukan itu terjadi saat aku pamit. Singkat. Tidak meraba, tapi cukup dalam untuk membuatku gemetar.