Awalnya, aku membeli Honda CBR150R hanya karena tampangnya. Garis bodi tajam, lampu LED ganda, dan siluet aerodinamis membuatnya terlihat seperti moge mini yang siap melesat. Tapi aku bukan pembalap. Aku pekerja kantoran yang harus menembus kemacetan Yogyakarta setiap pagi. Jadi, keputusan membeli motor sport itu sempat dianggap impulsif oleh banyak orang—termasuk istriku.
“Motor kayak gitu buat gaya doang, kan?” katanya waktu itu, sambil menatap fairing hitam matte yang baru saja turun dari dealer.
Tapi seiring waktu, CBR150R membuktikan bahwa ia bukan cuma soal penampilan. Dengan mesin DOHC 150cc dan fitur slipper clutch, motor ini menawarkan perpindahan gigi yang halus dan aman, bahkan saat harus menurunkan gigi mendadak di turunan Ring Road Selatan. Ditambah sistem ABS dual channel, aku merasa lebih tenang saat hujan deras mengguyur jalanan dan rem harus digunakan mendadak.
Konsumsi BBM-nya juga mengejutkan. Untuk ukuran motor sport, aku bisa dapat 40–45 km/liter dalam pemakaian kombinasi kota dan luar kota. Tangki 12 liter membuatku jarang mampir ke SPBU, dan itu sangat membantu ketika harus buru-buru ke kantor atau meeting di luar.
Istriku, yang awalnya takut motor sport, mulai penasaran. Suatu sore, aku ajak dia keliling kompleks. Awalnya ragu, tapi setelah duduk di jok dan merasakan kopling yang ringan, dia mulai tersenyum. “Nggak seberat yang aku bayangkan,” katanya. Beberapa minggu kemudian, dia minta diajari naik motor. Sekarang, dia sering minta gantian nyetir kalau kita touring pendek ke Kaliurang.
Touring pertama kami adalah ke Pantai Glagah. Bersama komunitas CBR Riders Jogja, kami menempuh 120 km dengan berbagai medan: jalan lurus, tanjakan, tikungan tajam. Di sinilah aku benar-benar merasakan karakter CBR150R. Handling-nya presisi, suspensinya cukup empuk di depan dan kaku di belakang—pas untuk cornering ringan. Bahkan saat melaju 110 km/jam di jalanan sepi, motor tetap stabil dan tidak limbung.
Tapi bukan hanya performa yang membuatku jatuh cinta. Ada satu malam yang mengubah segalanya.
Aku pulang kerja dengan kepala penuh tekanan. Deadline menumpuk, konflik tim belum selesai, dan aku merasa gagal. Di tengah perjalanan, aku berhenti di pinggir jalan, menatap lampu kota yang kabur oleh embun helm. Di atas jok CBR, aku menangis. Bukan karena motor itu, tapi karena hidup terasa berat. Tapi justru di momen itu, aku merasa ditemani. Suara mesin yang pelan, bodi yang kokoh, dan kenangan perjalanan bersama istri membuatku sadar: aku tidak sendiri.
Sejak saat itu, CBR150R bukan cuma kendaraan. Ia jadi pelarian, ruang refleksi, dan pintu masuk ke komunitas yang suportif. Lewat kopdar dan touring, aku bertemu orang-orang yang punya cerita serupa—tentang stres kerja, tentang cinta, tentang motor yang jadi teman.
Buat kamu yang sedang mempertimbangkan motor sport untuk harian, jangan ragu. CBR150R bukan hanya soal gaya. Ia fungsional, aman, dan bisa jadi sahabat produktivitas. Dan kalau beruntung, ia bisa jadi jembatan untuk hubungan yang lebih hangat—baik dengan pasangan, teman, atau dirimu sendiri.