Mohon tunggu...
Febby Fortinella Rusmoyo
Febby Fortinella Rusmoyo Mohon Tunggu... -

i'm just an ordinary girl in an EXTRA-ordinary world...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dongeng Wild West

8 Mei 2012   08:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berjalan menyusuri padang pasir luas tanpa batas di bawah teriknya matahari gurun. Tas yang kusandang di bahu terasa semakin memberatkan. Tempat minumku tinggal berisi setengah. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Padang pasir masih belum tentu ujungnya, sementara penderitaanku pun tak kunjung reda.

Beberapa langkah kemudian, tempat minumku sudah kosong. Aku sudah pasrah dengan keadaanku. Entah siapa yang akan menemukanku terbujur kaku di padang pasir yang tak bersahabat ini. Inikah Llano Estacado? Akankah aku mati sia-sia di gurun ini?

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan dari arah belakangku. Kuda..? Kalau ada kuda, seharusnya ada penunggangnya. Semoga saja! Tapi dari mana datangnya? Tak mungkin dia datang begitu saja tanpa asal. Tapi bagiku itu tak masalah. Yang penting ada seseorang yang bisa membantuku, paling tidak untuk menambah persediaan airku. Lagipula aku tidak berani menumpang dengan orang lain. Entah dia jahat atau baik, siapa yang tahu.

Derap kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Debu mengepul di udara. Aku terus berjalan sambil menutup hidung dan mulut agar tidak kemasukan debu. Akhirnya kuda itu berhenti di sampingku. Masih sambil menutup hidung dan mulutku, aku memandang penunggangnya dengan mata menyipit untuk menghindari masuknya debu. Seorang koboi bertampang angkuh memandangku dari atas kudanya. Dengan kemeja polos berwarna coklat muda plus rompi kulit berwarna coklat tua, dipadu jins coklat tua dilapisi kulit pelindung kaki berwarna krem kumal, ditambah topi koboi berwana krem serta syal merah, dan tentu saja sepatu koboi lengkap dengan tajinya, koboi itu tampak begitu gagah. Selama beberapa saat kami hanya berpandangan. Matanya yang biru kelam bersinar penuh pesona. Rambutnya yang coklat muda agak kepirangan hampir tidak kelihatan di balik topi koboinya karena dipotong pendek.

Beberapa saat kemudian, “Perlu bantuan?” dia bertanya dengan aksen barat daya yang kental. ‘Wow!’ batinku. “Kalau tak keberatan,” jawabku singkat. Aku tak bisa terlalu banyak bicara, kerongkonganku sudah kering.

“Kenapa harus keberatan?” balasnya sambil membentuk senyum manis di bibir tipisnya yang justru malah menambah kesan gagah itu. Kemudian dia turun dari kudanya dan berkata, “Naiklah!”

Dengan agak ragu, aku menatapnya. Koboi-koboi seperi ini sulit dipercaya untuk mau membantu orang lain di daerah barat liar ini. Mereka terlalu licik untuk dipercaya. Melihatku yang tampak ragu, dia tertawa, “Kenapa? Takut? Kau tidak capek? Masih sanggup melanjutkan perjalanan dengan matahari seterik ini? Aku tahu kau tidak percaya padaku. Aku tahu kau takut disakiti. Tapi percaya sajalah... Aku takkan menyakitimu. Naiklah sekarang! Kita tidak punya banyak waktu..”

Aku masih berusaha mempertahankan diri. “Sebenarnya aku hanya ingin meminta sedikit air untuk mengisi tempat minum ini,” ujarku menjelaskan.

Dia menghela nafas, “Nona, kurasa kau takkan bisa bertahan hidup hanya dengan berbekal tempat minum sekecil itu. Lagipula aku tak bisa memberimu air sekarang. Aku sendiri sudah kehabisan air. Kalau mau air, bisa kau ambil di pondokku. Dan untuk itu kau harus kuantar kesana. Sama saja kan?”

Karena merasa tak punya pilihan lain, akhirnya aku mengalah. “Baiklah, aku akan ikut denganmu.” Aku naik ke atas kuda, disusul olehnya yang duduk di belakangku. Sebelum berjalan, dia masih memandangku dari samping. Aku bisa merasakannya karena jarak wajah kami dekat sekali. Darahku serasa berhenti mengalir, atau mungkin justru mengumpul di wajah.

Kami berjalan lambat-lambat. Dengan beban dua orang seperti ini, kuda akan kelelahan jika disuruh berlari. Koboi itu berusaha membuka percakapan, “Kau dari mana?”

“Dari selatan..”

“Bagaimana kau bisa sampai kesini? Aku tak percaya gadis secantikmu berani mengembara di daerah padang pasir yang buas ini. Terus terang, sebenarnya kau sangat beruntung bertemu denganku. Kalau bertemu dengan yang lain, entahlah... Mungkin kau takkan bisa menghirup debu padang pasir ini lagi. Oya, ngomong-ngomong siapa namamu? Aku baru sadar kalau kita belum berkenalan.”

“Aku Dixie.”

“Hmm.., sesuai dengan asalmu. Aku Drake. Senang berkenalan denganmu. Semoga kau menikmati perjalanan ini.”

“Sama-sama. Kurasa aku memang beruntung bertemu denganmu. Terima kasih atas bantuanmu.”

“Hei, jangan terburu-buru, Nona! Kita belum sampai di pondokku. Kalau sudah sampai nanti, kau akan lebih senang lagi. Aku yakin kau pasti akan tertarik dengan Red Wolf. Mungkin dia agak kurang ramah, tapi sebenarnya dia baik.”

Red Wolf? Kedengarannya seperti nama orang Indian. Benarkah? Asyik juga kalau benar orang Indian! Sudah lama aku ingin berteman dengan orang Indian. Kata orang, berteman dengan orang Indian berarti mendapat teman sejati seumur hidup, bermusuhan dengan orang Indian berarti menggali kubur sendiri. Dan betapa beruntungnya aku jika memang bisa berteman dengan orang Indian.

“...kau juga boleh bermalam disana, kalau kau tak keberatan. Mau kan?” Aku terkejut. Tak kusangka Drake masih terus bicara sementara aku termenung tadi. Aku tak tahu apa yang dikatakannya.

“Mau kan, Dix?” ulangnya lagi.

“Eh, mmm..., maaf! Aku tak mendengarku. Kau bilang apa tadi?”

“Aku bilang, sebentar lagi kita sampai di pondokku. Kau bisa mengambil air disana, bahkan makanan juga bisa. Dan kalau kau kemalaman, kau bisa bermalam disana, walaupun tempatnya agak sedikit menyedihkan. Sudah jelas kan?”

Aku tertawa, “Ya..ya.., aku mengerti! Aku bahkan tak sabar lagi ingin cepat sampai disana.”

“Tenang, Nona manis! Hanya tinggal beberapa meter lagi,” sahutnya.

Tak lama kemudian mulai tampak pepohonan dan rerumputan. Kami pun memasuki hutan kecil itu. Tak jauh dari hutan itu terlihat sebuah pondok dengan berukuran sedang, berdiri di tengah padang rumput yang luas. Ahh...! Aku menarik nafas lega. Akhirnya tiba juga kami di pondok surga. Bisa disebut begitu dengan keadaanku saat ini. Lapar, haus, capek, ngantuk, gerah. Apalagi yang kubutuhkan saat ini selain tempat beristirahat.

“Nah, itu pondokku!” ujar Drake memecah keheningan kami selama ini. “Tidak terlalu istimewa, tapi bisa memberimu cukup kepuasan.”

“Aku tak perlu yang istimewa. Yang kubutuhkan sekarang hanya air, makanan, dan tempat tidur. Kalau bisa mandi lebih bagus lagi.”

“Semuanya sudah tersedia, Tuan Putri! Kami siap melayani Anda,” jawab Drake nakal. Aku tertawa mendengar gurauannya. Jarang-jarang ada koboi bisa bercanda...

Akhirnya kami benar-benar tiba di depan pondok itu. Di sampingnya, terpisah dari bangunan pondok, terdapat kandang kuda dan tempat pengumpulan kuda dengan pagar kayu di sekelilingnya. Lingkaran yang dibentuk dari pagar kayu itu terbilang cukup besar, menandakan cukup banyaknya kuda yang ada, mungkin bisa memuat lebih dari dua puluh ekor kuda, tergantung besarnya. Tapi walaupun tempat itu lebar, tak ada satupun kuda di dalamnya. Mungkin mereka masih merumput, pikirku. Tapi dimana? Dan siapa yang menjaga mereka?

“Ayo, turun, Dix! Aku akan mengandangkan kuda ini dulu. Kalau kau ingin melihat-lihat juga boleh. Kuda masih merumput bersama Red Wolf.”

Ternyata dugaanku benar, kuda-kuda masih merumput, dan dijaga oleh Red Wolf. Seorang Indian menjaga kuda..? Well.., apa salahnya? Aku melihat-lihat sekeliling. Asyik juga tempat ini, jangan-jangan aku malah betah disini!

“Dix, kalau mau mandi ada tempat mandi di belakang. Tidak terlalu baik untukmu, tapi aku janji tidak akan mengintip,” tiba-tiba Drake sudah muncul sambil cengengesan.

Aku tertawa, “Coba saja kalau berani, kau akan merasakan tinjuku...”

“Oya? Kurasa aku malah ingin mencobanya...” balas Drake sambil tertawa juga.

Aku masuk ke dalam pondok, disusul oleh Drake. Perabotan di dalam pondok itu tidak banyak. Hanya ada sebuah meja makan sederhana dari kayu dengan lima kursi di sekelilingnya. Juga ada sebuah dipan kecil untuk tempat istirahat. Selain ruang depan yang mungkin bisa dianggap sebagai ruang tamu itu, ada dua ruangan lagi yang kemungkinan kamar tidur.

“Dix, kemarilah!” panggil Drake dari kamar yang terletak agak di belakang. “Kamar ini memang kami khususkan untuk orang-orang yang ingin bermalam, jadi disinilah tempatmu. Simpan perlengkapanmu disini!” Aku mengangguk. Tanpa bicara lagi, Drake segera keluar entah kemana.

Aku terpaku sejenak di dalam kamar itu. Disitu ada sebuah dipan kecil untuk tidur, sebuah lemari kecil dengan cermin di pintunya yang hanya bisa menampakkan bagian kepala dan leher saja. Lumayanlah, batinku. Kubuka pintu lemari itu. Ciiiit....! Bunyi engsel pintu lemari itu menandakan dia tidak pernah dibuka. Dan..., puah...! Debunya minta ampun. Kubatalkan niat ingin meletakkan tas di dalamnya.

Aku ke belakang, mau mandi. Sudah berapa hari aku tak mandi, ya? Menjijikkan! Kamar mandi itu pun juga darurat. Tapi lumayanlah sekedar untuk mengikis debu dan daki yang sudah lengket di badanku. Selesai mandi, aku ke kamar. Sedikit mengemasi badan dengan perlengkapan seadanya.

Menjelang sore, aku menghabiskan waktu dengan makan dan beristirahat di kamar. Empuk juga kasurnya. Aku sempat tertidur sampai kudengar ringkikan kuda di dekat jendela kamar. Kuintip dari dalam. Kulihat sosok tegap berpakaian jumbai dari kulit, berambut lurus sebahu, memakai ikat kepala merah,dan pada ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit bison, terselip sebuah tomahawk, kapak khas orang Indian. Red Wolf? Siapa lagi..? Seketika dia membalikkan badan. Segaris wajah asli Indian terlukis disana. Dengan hidung seperti paruh burung, mata menjorok ke dalam dan bersorot tajam, alis yang menonjol keluar, serta rahang persegi yang keras. Aku terpaku memandangnya. Benar-benar Indian sejati!

“Sedang menikmati sempurnanya sosok itu?” Aku dikejutkan oleh suara di belakangku. Drake! Aku sampai tak menyadari kedatangannya karena terpesona melihat Red Wolf. Aku berbalik dan menjawab, “Tidak juga. Hanya mencari kebaikan di wajah keras itu.”

“Kau tak perlu meragukan itu. Dia orang paling baik dan tulus yang pernah kukenal. Aku tak pernah percaya pada orang lain seperti rasa percayaku padanya. Percayalah, kalau kau bersahabat dengannya, maka dia akan menjadi pelindungmu yang paling setia.”

Begitukah? Aku membalikkan badan lagi, kembali memandangi lelaki Indian itu. Drake keluar menemuinya. Aku memperhatikan mereka berdua. Keduanya sama-sama berkharisma, namun dengan tipe yang berbeda. Hmm.., pilihan yang sulit...

Tak lama kemudian mereka menghilang, lalu terdengar ketukan di pintu kamarku. Kubuka pintu dan kedua sosok yang membuatku bingung memilih itu kini berada di hadapanku. Keduanya menatapku tajam. Aku jadi kikuk. Akhirnya, “Dix, ini Red Wolf! Red Wolf, ini Dixie dari selatan!”

“Senang berkenalan denganmu!” ujarku sambil mengulurkan tangan. Tapi Red Wolf tidak membalas uluran tanganku. Aku jadi salah tingkah. Sementara Red Wolf hanya membalasnya dengan anggukan kepala sambil masih menatap tajam. Kemudian dia meninggalkan kami. Aku menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya dan beralih kepada Drake.

“Maaf, Dix! Aku lupa mengatakan kepadamu bahwa dia tidak ramah pada orang asing.”

“Ya, aku mengerti. Memang sudah sifat Indian begitu kan..?”

Drake mengangkat bahunya. “Well.., kau mau ikut mengandangkan kuda?”

“Kalau kau dan Red Wolf tidak keberatan.”

“Tentu saja tidak. Aku malah senang.”

“Dan Red Wolf?”

Drake tersenyum, “Tenang sajalah! Dia tidak akan marah. Dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan orang asing. Kalau kau ikut mengandangkan kuda, kurasa dia akan lebih cepat menyesuaikan diri denganmu.”

“Baiklah!”

“Kau bisa menunggang kuda kan?”

“Tentu saja!”

Drake memberiku seekor kuda jantan berwarna coklat yang sangat gagah. Mulanya agak susah menaikinya karena kuda itu begitu tinggi. Tapi akhirnya aku bisa mengendalikannya karena kuda itu ternyata sangat jinak.

Kami berkuda menuju padang rumput yang terletak di sebelah barat dari hutan yang kami lewati tadi. Drake terkagum-kagum menyaksikan caraku menunggang kuda.

“Tak kusangka kau sangat terampil menunggangi kuda,” teriaknya sambil terus memacu kuda.

Aku tertawa dan menjawab, “Yuk, kita pacuan!” Drake menerima tantangan itu, kami pun balapan. Tapi tentu saja Drake yang menang. Dia sudah mengenal kuda yang ditungganginya, sedangkan aku masih asing dengan si coklat bernama Rih itu. Kami tertawa-tawa sesampai di padang rumput. Seru juga balapan itu!

Ternyata Red Wolf sedang memperhatikan kami dari kejauhan. Dia memang sudah lebih dulu tiba di padang rumput itu. Drake menyusul Red Wolf. Sementara itu aku mengelilingi padang rumput itu, menikmati pemandangan karpet hijau indah yang masih perawan itu.

Drake bersuit dari jauh. Aku menoleh ke arahnya. Dia memberi isyarat untuk mulai menggiring kuda. Red Wolf sudah duluan menggiring kuda-kuda yang agak jauh merumputnya, sementara Drake menyusul mengambil kuda yang lebih dekat. Aku membantu mengembalikan kuda yang tercecer dari rombongannya. Tak lama kemudian, semua kuda sudah berada dalam satu rombongan. Kami pun menggiringnya menuju pagar melingkar tempat kuda dikumpulkan. Setelah itu, kuda-kuda itu kami bawa satu per satu ke dalam kandang.

Ah.., senang sekali rasanya! Sudah lama tidak melakukan pekerjaan ini. Dan enaknya kuda-kuda itu sangat jinak, sehingga tidak terlalu repot menggiringnya. Saat matahari sudah di ujung barat, semua kuda sudah dikandangkan.

Malam tiba. Kami berkumpul di meja makan untuk menikmati kacang merah rebus dan daging bison panggang sebagai makan malam. Selesai makan, kami bertiga duduk di teras menikmati langit berbintang. “Bagaimana kesan-kesanmu setelah melewati satu hari dengan kami?” tanya Drake padaku.

“Senang sekali! Sudah lama aku tidak mengalami kejadian seperti ini,”jawabku girang.

“Dan bagaimana kesan-kesanmu terhadap Red Wolf?”

Aku kaget mendengar pertanyaan Drake. Sementara Red Wolf yang duduk di sebelah Drake hanya melirik sekilas pada Drake, kemudian padaku. Setelah itu dia mengalihkan pandangannya ke langit berbintang.

Aku memperbaiki letak dudukku karena kikuk. Aku masih belum menemukan kembali pita suaraku. Aku tak tahu mau jawab apa. Red Wolf masih duduk bersama kami, sungguh canggung rasanya menilai seseorang di depan dirinya sendiri. Kulihat Drake masih menunggu jawabanku dengan senyum nakalnya. Kualihkan pandangan pada Red Wolf. Dia diam saja. Tapi kulihat kedua sudut bibirnya sedikit tertarik keatas. Dia tersenyum...

“Sampai kapan aku harus menunggu?” tanya Drake tak sabar.

“Baiklah!” Kuangkat wajahku dan kutarik nafas dalam-dalam. “Menurutku, seperti kebanyakan orang Indian, dia tidak ramah. Tapi aku yakin dia sebenarnya baik. Dia hanya bersikap waspada dan itu wajar. Aku maklum kok...”

“Darimana kau tahu dia baik? Karena aku bilang tadi kan..?” patah Drake.

“Tidak. Aku bisa lihat dari matanya.”

Well.., bagaimana tanggapanmu, Sobat?” tanya Drake pada Red Wolf.

Red Wolf memandangku sekilas, dan, “Terima kasih!”

“Sama-sama!”

Kemudian dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam sambil berkata tanpa memandangku dan Drake, “Aku duluan...” Sungguh angkuh! Tapi aku suka. Tipe Indian sejati.

Tinggallah aku berdua dengan Drake. Aku tahu dia sedang menatapku tajam. Badanku panas dingin, tapi kuberanikan diri memandangnya. Pandangan kami beradu.

“Kau takkan pulang besok kan?” tanya Drake, tapi terdengar seperti perintah di telingaku.

“Aku harus pulang, aku tak mungkin disini terus.”

“Kenapa? Aku tidak ingin kau pergi. Tinggallah disini selama kau suka, atau...selamanya...”

Kucoba menatap matanya, mencari kebenaran. Tapi aku tak sanggup dan tertunduk sendiri. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba Drake sudah mengangkat wajahku dengan tangannya dan mendaratlah bibir itu di bibirku. Aku terlalu kaget untuk menghindar. Dan lebih dari itu, aku memang tidak berniat menghindar...

“Kalau begitu kau boleh pergi besok...” ujar Drake lagi, santai.

“Kalau begitu aku istirahat sekarang..” balasku sambil berjalan ke kamarku.

Sesampai di kamar, aku langsung merebahkan diri di kasur. Yang kukhawatirkan terjadi juga. Di satu sisi aku menyukai Drake yang ceria dan penuh canda. Di sisi lain, Red Wolf yang tenang dan angkuh juga menarik perhatianku. Tapi kurasa Red Wolf tidak menyukaiku. Sikapnya terlalu dingin. Yang pasti aku benar-benar harus berangkat besok, karena kalau tidak...

“Tok, tok, tok!” Aku terkejut mendengar ketukan di pintu kamarku. Paling-paling Drake! Mau minta apa lagi dia..? Tadi cium sudah! Kubuka pintu kamar dan yang kuhadapi lebih membuatku terkejut lagi. Bukan Drake, tapi Red Wolf. Dia menatapku tajam. Aku merasa ditelanjangi. Setelah mampu mengendalikan perasaan, aku bertanya, “Ada apa, Red Wolf?”

Dia tidak menjawab, namun dikeluarkannya sebuah kalung dari balik bajunya. Kalung itu terbuat dari lima cakar serigala yang dirangkai menjadi satu. Dilepaskannya kalung itu dari lehernya dan dikalunginya ke leherku. Aku terkejut. Mungkinkah kalung itu jimatnya? Tapi tak seharusnya seorang Indian memberikan jimatnya kepada orang lain. Jika seorang Indian telah kehilangan jimatnya, sengaja atau tidak, maka berarti dia tidak punya harga diri lagi. Dan bagi mereka, dari pada hidup tanpa harga diri, lebih baik mati bunuh diri. Begitulah kepercayaan mereka.

Seolah bisa membaca pikiraanku, dia berkata, “Jangan khawatir! Itu bukan jimat. Jimatku ini...” Dia menunjukkan gelang di tangan kirinya, berupa kulit serigala yang dihiasi dengan dua taring serigala. Mungkin dia pernah berkelahi dengan serigala dan mengalahkannya, dan karena itu dia dinamakan Red Wolf, si kulit merah penakluk serigala.

“Untuk apa kau beri aku kalung ini?”

“Aku ingin ada sesuatu dari diriku yang menjadi kenangan bagimu.”

“Kenapa kau ingin menjadi bagian dari kenanganku?”

“Karena aku ingin menjadi bagian dari dirimu, tapi tak bisa.”

“Kenapa tidak?” Entah kenapa aku jadi begitu cerewet.

“Karena Drake juga menyukaimu dan aku tahu kau juga menyukainya. Aku tak mau menghancurkan itu.”

“Bagaimana mungkin kau bisa langsung tertarik pada seorang wanita yang baru kau kenal? Bukankah itu sifat yang tidak biasa dari diri seorang Indian?”

“Jadi kau keberatan? Baiklah, bawa kemari lagi kalung itu...!”

“Tentu saja tidak! Bukan itu maksudku... Aku menyukainya, terima kasih! Tapi...”

“Kalau begitu simpan dan jadikan itu jimatmu untuk melanjutkan perjalanan besok. Selamat malam!” Red Wolf berlalu.

Kututup pintu. Sedikit menyesal telah membuatnya tersinggung tadi. Dengan gontai aku berjalan ke dipan dan kembali merebahkan diri. Tak lama kemudian aku sudah melayang ke alam mimpi.

Saat membuka mata, di hadapanku terpampang seorang koboi sedang menunggang kuda, dengan tulisan diatasnya: COME TO WHERE THE FLAVOR IS... Di sampingnya terpampang pula sosok seorang Indian kepala suku Apache hasil rekaan seorang pengarang besar, Karl May. Indian itu bernama WINNETOU. Ah..., ini kan kamarku!

* * *

Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010” yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau. Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Sagang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun