Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepucuk Surat dari Universitas Sosial

28 Juli 2017   16:24 Diperbarui: 31 Juli 2017   01:49 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawan, sungguh aku heran. Orang-orang itu, entah apa yang mereka risaukan. Apa sebenarnya yang mereka takutkan hidup di zaman ini? Bukankah sekarang segalanya serba mudah? Jarak bukan lagi masalah. Mereka berkoar-koar tentang pentingnya pendidikan di sekolah? Padahal sekolah (dan perguran tinggi) tak lebih dari sekedar pabrik ijazah.

Tak tahukah mereka saat ini sudah ada Universitas Terbuka? Aku baru saja bergabung dan aku menyukainya. Di sini semua serba mudah. Ketersediaan guru mumpuni yang kau ributkan itu tak ditemukan di sini. Kau mau pilih guru yang mana? Tinggal tanya sang maha guru dan ia kan pampangkan seluruh seluruh jajarannya.

Buku? Tak sadarkah kau kata itu terdengar begitu purba?

Pena? Tak cukupkah jarimu sehingga kau butuh alat tulis segala? Di kampusku ini, dengan jempol saja kau bisa jadi sarjana.

Ruang kelas? Meja belajar? Papan tulis? Apa itu?

Terlambat datang, ketiduran di kelas, upacara bendera, bolos? Ah, sudah bukan zamannya kawan. Cobalah datang kesini dan sejenak hidup bersama kami. Para mahasiswa di kampus ini adalah contoh ideal komitmen dan ketekunan. Meskipun tak dibutuhkan biaya besar untuk kuliah di sini, tak sedikit yang rela merogoh saku dalam-dalam demi sekedar hadir. Tak ada uang juga bukan masalah. Pintu sang guru terbuka lebar. Kau lihat mereka yang saban hari duduk tertekur di emperan bangunan bahkan ketika matahari sudah di peraduan, demi detik-detik gratis namun berharga bersama sang guru? Ketika lampu padam, jangan kau kira perjuangan mereka selesai sampai di sana. Pantulan cahaya redup di wajahnya adalah pertanda perjuangan terus berlanjut meski di malam gulita. Tak usah heran ketika keesokan harinnya, ketika matahari sudah sepenggalah mereka baru terjaga. Perjuangam sepanjang hari yang berlanjut sampai larut malam tentunya menguras tenaga. Tumpukan materi tempo hari membuat mereka terjaga dengan kepala berat dan muka pucat.

Hebatnya, kawan, detik mata terbuka adalah detik dimana perjuangan kembali bermula. Sewangi apapun kopi panas di pagi hari tak mampu kalahkan semangat nan membara. Bahkan sebelum cuci muka sang guru mestilah disapa. Betapa tidak, setiap hari ada saja materi baru yang diajarkannya, dan terkadang tak cuma satu dua.

Kawan, hari ini ada materi baru. Jauh lebih menarik dari materi kemarin. Sungguh menarik judulnya. Ada masjid yang tak boleh dipakai untuk shalat! Menarik bukan? Cerita tentang para koruptor dan pencitraan tempo hari sudah biarkan saja. Meskipun sampai hari ini mereka terus beroperasi dan hidup enak meskipun sudah masuk bui, materi itu sudah basi. Reklamasi? Wah, berita lama! Lihatlah pokok pembahasan hari ini. Melihat judulnya saja jempolku terasa gatal. Materi ini mesti segera kusebar luaskan. Mestilah aku yang pertama. Bukankah menebar pengetahuan adalah sebuah kebaikan?  Bukankah sang guru sangat menyukai mereka yang berpacu mencari dan menebar ilmu? Aku yakin cinta sang guru sangat patut diperjuangkan.

Kalau perhatian guru sudah kudapatkan, perhatian seisi kampus pastilah sudah ditangan. Aku tak boleh ketinggalan. Mahasiswa lain pun pasti se-pikiran. Tak usahlah kupelajari dulu. Terlalu memakan waktu. Bisa-bisa aku ketinggalan. Benar salah apa peduliku? Bukankah sang guru terus memotivasi untuk 'stay updated dan up-to-date'? Pernah sesekali kudengar 'be smart', tapi bukan dari mulutnya, kawan, tapi dari orang-orang sepertimu. Tapi bagaimana aku bisa percaya omongan orang sepertimu kalau kata-kata guruku jauh lebih memikat? Lagian di kampus ini orang-orang sepertimu tak laku.

Tak usah kau tanyakan aku paham materi hari ini. Terus terang sebagian besar materi yang diberikan guru aku tak paham. Aku cuma butuh judul yamg menarik. Mereka kawan-kawan sekampusku juga demikian. Buat apa kupelajari sementara mereka juga hanya membaca beritaku sebatas judul? Mereka sama sepertiku. Jangankan mempelajari, isinya saja kadang tak mereka tengok. Menarik, tebarkan! Perkara benar atau salah tak semestinya jadi beban. Besok, minggu depan orang juga akan lupa. Mereka menjadi baik atau justru sesat? Ah, kami bukan malaikat, bukan pula setan. Yang penting rating-ku di kampus ini naik!

Kawan, sang guru telah melatih kami untuk menjadi tenaga musiman yang handal. Ia mendidik kami untuk menjauhi budaya 'tidak bisa', apapun tema yang diberikan. Kau boleh berpikir aku ini tak tahu apa-apa diluar sana. Tapi kawan, di sini aku bisa jadi apa saja hanya dalam hitungan detik. Sekalian kau kukasih tahu, di sini kami pun tak mengejar ijazah. Aku sudah dengar lantangnya suaramu menguliti mereka yang sekolah hanya demi ijazah. Tenang saja, kampusku ini tak kenal lembaran ijazah. Buat apa? Sistem penilaian kami jauh lebih modern dan diakui di seluruh dunia. Sistem cap jempol ini kami kenal dengan Like and Share. Semakin tinggi angka Like and Share yang kami dapat, semakin berprestasi-lah kami. Kami tak perlu memikirkan hari esok, apalagi kemaren. Kami ini seperti kambing yang tengah merumput. Perkara besok ada makanan bukanlah bagian dari kekhawatiran kami. Selama perut hari ini terisi, kami puas. Selama jumlah Like and Share yang kami dapat untuak sebuah materi memuaskan, bahagialah kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun