4. Minimnya Komunikasi Partisipatif dan Kolaborasi
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa jarang dilibatkan dalam perancangan kampanye KTR. Padahal, organisasi kemahasiswaan seperti BEM, UKM, dan Himpunan Jurusan memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial (Lestari, 2021).
Keterlibatan mahasiswa dalam merancang pesan—misalnya dengan membuat konten kreatif, mural kampus bertema “Kampus Sehat”, atau event Smoke-Free Campus Week—akan membuat kampanye terasa lebih otentik. Pendekatan seperti ini tidak hanya memperluas jangkauan pesan, tetapi juga memperkuat rasa tanggung jawab sosial.
Kolaborasi dengan LSM kesehatan, Dinas Kesehatan, serta komunitas antirokok juga dapat memperluas jangkauan kampanye dan meningkatkan kredibilitas pesan. Sinergi multi-stakeholder ini merupakan bentuk nyata dari komunikasi lingkungan yang integratif dan berkelanjutan (Cox & Depoe, 2018).
5. Dampak Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Isu merokok di kampus juga berdampak pada lingkungan fisik. Puntung rokok merupakan salah satu limbah paling berbahaya karena mengandung nikotin dan logam berat yang sulit terurai. Data WHO (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 4,5 triliun puntung rokok dibuang ke lingkungan setiap tahun di seluruh dunia, dan sebagian besar berakhir di tanah atau saluran air.
Di lingkungan kampus, limbah puntung rokok dapat mencemari taman dan selokan, serta menambah beban kerja petugas kebersihan. Dengan demikian, kebijakan KTR berkontribusi langsung terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) terutama poin 3 (kesehatan yang baik) dan poin 11 (kota dan komunitas berkelanjutan).
KTR bukan hanya kebijakan kesehatan, tetapi juga strategi komunikasi lingkungan untuk membangun kesadaran ekologis di kalangan generasi muda. Ketika mahasiswa memahami bahwa perilaku merokok berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan, maka kepatuhan terhadap kebijakan akan meningkat secara alami (Noviana, 2021).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Fenomena merokok di kawasan kampus mencerminkan masalah struktural dan komunikasi yang kompleks. Regulasi sudah ada, namun pelaksanaannya belum efektif karena komunikasi yang digunakan bersifat satu arah, normatif, dan tidak melibatkan audiens.